Kamis, 18 September 2014

TANAM PAKSA



TANAM PAKSA di PULAU JAWA (1830-1870)

A.    Latar Belakang Penerapan Sistem Tanam Paksa (Culturstelsel)
Pelaksanaan sistem tanam paksa (culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia Belanda dalam memperbaiki keuangan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819, menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi Belanda.
Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Pada hakikatnya sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali sistem penanaman wajib yang berlaku di Parahyangan selama 1810-1830.
Setelah sistem pajak tanah yang diberlakukan oleh Raffles, kemudian digantikan oleh sistem taman paksa. Tahun 1830, pemerintah Hindia-Belanda mengankat Gubernur Jenderal baru untuk Indonesia, yaitu Johanes van Den Bosch. Tugas utamanya untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung.
Sistem tanam paksa muncul karena pihak pemerintah Hindia-Belanda mengalami keadaan parah di bidang keuangan, dan juga budget pemeerintahan Hindia-Belanda dibebabi hutang-hutang yang besar. Belanda merasa tidak mampu menangtebungi masalah ini sendiri, sehingga muncul pikiran untuk mencari pemecahan di koloni-koloninya. Salah satunya Indonesia. Atas dasar itu maka sistem tanam paksa diperkenalkan oleh Van den Bocsh.
Dasarnya sistem tanam paksa, selama zaman Belanda terkenal dengan nama culturstelsel, berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Culturstelsel menganut paham konservatif yaitu dalam pelaksanaannya menggunakan tatanan feodal (menggunakan bantuan orang-orang lokal). Di mana desa menjadi mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia, yaitu bupati atau regent (sebutan dari orang-orang Belanda). Bupati bertanggung jawab kepada pemerintah bangsa Eropa. Paham konservatif digunakan untuk menggantikan paham liberalisme yang dipandang tidak sesuai dengan struktur sosial yang sangat feodal di Jawa dengan segala ikatan-ikatan tradisionalnya. Pemerintah tidak sanggup menembusnya langsung berhubungan dengan rakyat secara perseorangan dan bebas.
Pada tahun 1892 Johannes van den Bosch (1780-1844) menyampaikan kepada raja Belanda usulan-usulan yang kelak akan dikenal dengan sebutan cultuurstelsel (sistem penanaman). Raja menyetujui usulan-usulan tersebut dan pada januari 1830 van den Bosch tiba di Jawa sebagai Gubernur Jenderal yang baru (1830-1833).
Pemikiran van den Bosch mengenai sistem penanaman tersebut tidak pernah dirumuskan secara jelas, tetapi nampaknya sistem itu didasarkan pada suatu prinsip umum yang sederhana. Desa-desa Jawa menghutang pajak tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan sebesar 40 persen dari hasil panen utama desa itu (biasanya beras). Dalam kenyataannya taksiran yang sesungguhnya adalah dibawah angka ini dan pemungutan pajak tersebut seringkali sulit dilaksanakan karena tidak cukup tersediannya sumber-sumber daya administrasi dan adanya kekurangan mata uang. Rencana van den Bosch adalah bahwa setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor (khusunya tebu, kopi dan nila) untuk dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah pasti. Dengan demikian desa akan mampu melunasi pajak tanahnya, dan van den Bosch memperkirakan hasil panen dari 20 persen (kelak 33 persen) bumi desa tersebut akan cukup memadai untuk tujuan ini. Apabila pendapatan desa dari penjualan hasil panennya kepada pemerintah lebih banyak daripada pajak tanah yang harus dibayarnya, maka desa itu akan menerima kelebihannya. Apabila kurang maka desa tersebut masih tetap harus membayar kekurangnnya dari sumber-sumber lain. Pernyataan-pernyataan van den Bosch pada 1833 mengenai kaitan antara pajak tanah dengan pembayaran-pembayaran pemerintah untuk hasil bumi kurang jelas, dan dia malahan membicarakan tentang produksi komoditas ekspor sebagai sesuatu yang lebih menguntungkan bagi desa daripada menanam padi. Bagaimanapun juga prinsipnya jelas yaitu bagi desa harus ada nilai tukar antara pajak tanah yang didasarkan atas komoditas beras dan komoditi ekspor kepada pemerintah.
Dalam teori setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini. Desa masih memiliki tanah yang cukup luas untuk kegunaannya sendiri dan akan mendapatkan penghasilan dalam bentuk tunai. Sebagai pengganti pendapatan yang tidak jelas dari pajak tanah, maka pemerintah akan mendapatkan komoditi daerah tropis yang sangat murah harganya sehingga menurut perkiraan van den Bosch masih dapat bersaing dengan gula Hindia-Belanda yang didirikan pada tahun 1824-1825 atas prakarsa raja Belanda. Hal ini akan memathkan dominasi pelayaran Inggris-Amerika di kawasan Malaya-Indonesia, dan akan memberikan penghasilan angkutan kepada negeri Belanda.
Masyarakat menengah ke bawah khususnya pribumi sangat dirugikan dengan sistem tanam paksa ini. Mereka dijadikan sebagai media sapi perah untuk mendatangkan keuntungan kepada Belanda sebanyak mungkin. Kalau dalam prinsip ekonomi berbunyi “modal sekecil-kecilnya dan mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya”, itulah yang Belanda terapkan dalam sistem tanam paksa ini. Belanda menginginkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari sistem tanam paksa ini. Apalagi pada saat itu Belanda sedang membangun dalam negeri untuk memperbaiki infrastruktur negeri Belanda dan sumber dananya salah satunya adalah dari keuntungan tanam paksa ini. Namun Belanda tidak memperhatikan pekerja-pekerja yang dipekerjakan atau pun disewa tanahnya untuk tanam paksa ini. Pekerja atau buruh tidak diperlakukan semestinya sebagai pekerja, sedangkan sewa tanah sangat murah dan merugikan pihak pribumi. Memang inilah yang diharapkan oleh Belanda agar modal mereka tetap kecil namun keuntungannya dapat besar.
Dalam kenyataannya tidak sistem sama sekali. Dalam pelaksanaan rencana-rencana van den Bosch di Jawa tersebut terdapat banyak variasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Konsepnya tentang akan diperolehnya keuntungan oleh semua pihak berubah menjadi salah satu diantara kisah-kisah pemerasan yang lebih besar di dalam sejarah penjajahan. Para pejabat lokal baik yang berkebangsaan Belanda maupun Indonesia, menetapkan taksiran besarnya pajak tanah dan banyaknya komoditi ekspor bagi setiap desa, kemudian memaksa desa untuk mewujudkannya. Dengan semakin meningkatnya pembayaran untuk hasil-hasil bumi, maka para pejabat memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk menaikkan taksiran pajak tanah, sehingga sebagian besar kelebihan pembayaran komoditi tersebut kembali kepada pemerintah. Sebenarnya tanam paksa ini sama dengan penyerahan wajib komoditi ekspor kepada pemerintah, dan sangat mirip dengan penyerahan wajib yang telah dijalankan VOC terhadap kopi di Priangan pada abad ke-18.
Memang seperti sebelum kedatangan van den Bosch kopi merupakan komoditi yang selalu sangat menguntungkan. Komoditi ini juga merupakan jenis komoditi terakhir yang dihapuskan ketika sistem tanam paksa berakhir. Di kabupaten-kabupaten Priangan sewa tanah tidak dijalankan serupa dengan bagian lain pulau Jawa. Kenyataan bahwa Van Den Bosch sering melandaskan perhitungan dan perbandingan dengan keadaan di Priangan justru hanya memperbesar ke kacauan pelaksanaan sistemnya. sistem sewa tanah mempengaruhi perkembangan social ekonomi dalam beberapa hal. Pertama, karena semua sumbangan wajib, kecuali kopi di Priangan, telah dihapuskan, hasil tanaman perdagangan, yang tidak popular untuk pasar luar negeri menurun. Kedua, kedudukan para bupati, yang kini dilucuti kekuasaannya untuk mengumpulkan jatah beras dan memeras jasa kuli, memburuk. Seluruh Strata pejabat pribumi rendahan yang telah dipekerjakan oleh para bupati sebagai penyewa/bekel mewakili kabupaten mereka, yaitu mereka yang disebut kepala perantara, dipecat. Ketiga, kedudukan kepala desa, yang sampai pada waktu itu hanyalah primus inter pares dari penduduk desa yang punya tanah, dinaikkan cukup tinggi. Dari tahun 1813 dan seterusnya, kepala desa adalah pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas semua pajak dan jasa, dan atas pembagian tanah-tanah desa. Keempat, pemilikan tanah pribadi secara turun temurun dalam banyka hal diubah menjadi milik bersama, yang setiap tahun dibagi bagi, dan sering dengan jatah yang sama.Kelima, Masuknya sistem baru ini didasarkan pada survey ekstensif atas tanah dan penduduk dan selnjutnya semua residen memberikan suatu laporan umum setiap tahun, berisi data penduduk dan pertanian.
Sistem tanam paksa yang sudah ada di Parahyangan, yaitu sistem tanam paksa kopi. Kopi yang ditanam di Parahyangan berasal dari India Selatan dan bawa oleh pemerintah kolonial ke Batavia dan disebarkan ke daerah Parahyangan. Inilah yang menyebabkan lahirnya sistem tanam paksa kopi di Parahyangan.
-          Pelaksanaan, Proses Produksi Dan Pendistribusian Kopi
Dalam pelaksanaanya kebun-kebun kopi dibuat diatas tanah-tanah liar dengan mempergunakan pekerja-pekerja wajib namun dalam kenyataannya tanaman kopi tidak hanya ditanam pada tanah-tanah liar saja, namun akibat dari pemerintah Belanda yang barambisi ingin menambah hasil produksi tanaman kopi, akhirnya penduduk yang memiliki lahan pun diwajibkan untuk menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami kopi. Dan bagi penduduk yang tidak memiliki lahan diwajibkan untuk bekerja pada lahan kopi tersebut. Dalam pelaksanaan tanam paksa kopi di parahyangan menurut Profesor Jan Breman, Guru Besar Emiritus pada Universiteit Van Amsterdam, menyatakan sistem tanam paksa kopi di Parahyangan dipimpin oleh para bangsawan setempat yaitu para Menak dan Sentana, yaitu adalah bangsawan Sunda yang lebih rendah.
Akibat dikerahkannya bangsawan lokal tersebut beban petani sunda pun semakin berat, dikarenakan selain harus menyerahkan hasil tanaman kopi pada pemerintah Belanda petani pun harus menyerahkan hasil panen padi mereka pada bangsawan setempat. Itu merupakan semacam gaji bagi para Menak dan Sentana. Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa kopi ini banyak penyimpangan-penyimpangan diantaranya; tanah petani yang dijadikan lahan penanaman kopi melebihi seperlima, tanah yang seharusnya dijadikan lahan penanaman kopi bebas pajak namun tetap dikenakan pajak, para pekerja yang seharusnya bekerja tidak melebihi masa tanam padi namun melibihi sehingga sangat membebani petani, kegagalan panen yang seharusnya ditanggung pemerintah namun ditanggung oleh rakyat, kelebihan hasil pertanian yang seharusnya diperuntukan untuk rakyat namun diambil oleh pemerintah.
Di tambah pula pada waktu petani Sunda hanya boleh berada di dua tempat yaitu desanya atau kebun kopi. Hukuman yang berlaku pun sangat keras bagi pekerja yang malas akan mendapat hukuman cambuk rotan atau pengasingan ke daerah lain. Dan disini penduduk semakin terjepit mereka hanya dijadikan budak dan ditindas oleh pemerintah Belanda. Dalam proses pendistribusiannya kopi dari hasil tanam paksa yang dilakukan di Parahyangan dari berbagai sumber yang saya dapatkan yaitu mula-mula hasil panen dikumpulkan oleh para petani, lalu dibawan kepara para bangsawan setempat atau para Menak dan Sentana, lalu dari para bangsawan tersebut di berikan pada pemerintah kolonial untuk dikumpulkan di gudang dan selanjutnya di bawa ke Batavia untuk di kirim ke Amsterdam yaitu disana ada semacan perusahaan yang mengurus lelang produk-produk tanam paksa seperti kopi dan nila dan lalu kopi dijual ke benua Amerika atau kenegara lain di Eropa.

B. Penerapan culturstelsel
Sistem tanam paksa dipegang dan dikendalikan NHM (nedherlansche handel maatsc happij), yaitu badan yang merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Perusahaan ini didirikan oleh Raja Willem I di Belanda dengan Surat Keputusan Raja Tanggal 29 Maret 1824 Nomor 163. Pada tahun berikutnya, NHM membuka perwakilannya di Batavia, yang dikenal dengan nama Factorij Nederlandsehe Handel Maatsehappij yang sering disebut dengan Factorij atau Kompeni Kecil. Sejak itu, bertahan di Batavia serta meluaskan ruang operasionalnya ke wilayah Nusantara lainnya maupun di luar negeri, dan mampu bertahan sampai terjadinya nasionalisasi perusahaan Belanda di tahun 1960an. Perusahaan yang disebut juga Factorie ini pada tahun 1960 dinasionalisasi oleh pemerintah RI bersama 18 cabangnya di Indonesia. Setelah itu, perusahaan itu menjelma menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII) yang beroperasi di seluruh wilayah Indonesia sampai saat ini. Berkantor pusat di Jakarta, tepatnya terletak di Noordwijk Weltevreden (sekarang Jl. Kantor Pos) dan dibangun pada tahun 1910-1911. Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) perencana pembangunannya dilakukan oleh Ed. Cuypers & Hulswit, sebuah biro perencana yang merupakan kolaborasi dari dua orang arsitek. Bangunan dua lantai ini dapat dilihat sistem tata letak bangunan di Pusat Kota Jakarta, sangat mirip dengan Kota Amsterdam, berderet dan berdempet, menjorok ke dalam dan menghadap ke sebuah kanaal.

Menurut Van den Bosch, paham konservatif secara langsung akan membentuk hubungan langsung antara pemerintah dan desa dengan melampaui peranan bupati sehingga perantara seperti hal yang berlaku pada masa VOC. Bupati hanya khusus mengawasi dan menjamin produksi atau disebut mandor. Sedangkan kepala desa bertanggung jawab untuk memenuhi target produksi. Bupati dan kepala desa dibayar dengan perhitungan persentase terhadap penyerahan-penyerahan komoditi pertanian, yang disebut kultur procenten (prosenan tanaman) yaitu jumlah sebesar prosenan tertentu dari harga hasil tanam paksa yang terkumpul di wilayahnya
Salah satu akibat yang penting dari sistem tanam paksa adalah meluasnya bentuk milik tanah bersama ( milik komunal ). Hal ini disebabkan karena para pegawai pemerintah kolonial cenderung untuk memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka daam menetapkan tugas penanaman-penanaman paksa yang dibebankan pada tiap desa. Jika para pegawai pemerintah kolonial misalnya harus melakukan persetujuan-persetujuan yang terpisah dengan tiap-tiap petani yang memiliki tanah untuk memperoleh seperlima dari tiap-tiap bidang tanah mereka, maka hal ini sangat mempersulit pekerjaan mereka. Jauh lebih mudah untuk menetapkan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan.
Dibanding dengan penyerahan wajib ( contingenteringen ) yang dipaksakan VOC kepada penduduk, maka sistem tanam paksa menaruh beban yang lebih berat di atas pundak rakyat. Jika selama jaman VOC pelaksanaan penyerahan wajib diserahkan kepada kepala rakyat sendiri, maka selama sistem tanam paksa para pegawai Eropa dari pemerintah kolonoial langsung melaksanakan dan mengawasi penanaman paksa tersebut.
Hal ini sering berarti peningkatan efisiensi dari sistem tanam paksa, dalam arti kata bahwa hasil produksi tanaman dagangan dapat ditingkatkan berkat pengawasan dan campur tangan langsung dari pegawai Belanda tersebut. Di lain pihak peningkatan efisiensi ini tentu berarti menambah beban yang harus dipikul rakyat.
Untuk menjamin bahwa pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa menunaikan tugas mereka dengan baik, maka pemerintah kolonial memberikan perangsang finansial kepada mereka yang terkenal dengan nama cultuurprocenten, yang diberikan kepada mereka di samping  pendapatan mereka. Cultuurprocenten ini merupakan presentasi tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman-tanaman ekspor tersebut yang diserahkan kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala-kepala desa jika mereka berhasil dalam mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan tiap-tiap desa.
Cara-cara ini tentu menimbulkan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan merugikan rakyat, karena pegawai-pegawai Belanda, maupun para bupati dan kepala-kepala desa mempunyai kepentingan mereka masing-masing. Akibat ketentuan ini para pegawai cenderung menjadi pegawai-pegawai yang buruk, karena tidak lagi menghiraukan rasa keadilan, mematikan rasa peri kemanusiaan, menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat dan tidak mengindahkan lagi kepentingan penduduk demi mementingkan kepentingan sendiri.
Tanam paksa bukan hanya menguntungkan Belanda dan menyengsarakan pribumi, namun ada satu hal yang juga tumbuh selama tanam paksa berlangsung, yaitu kesewenang-wenangan pejabat lokal. Semasa tanam paksa tugas pejabat lokal seperti bupati adalah untuk menarik hasil bumi untuk dikirim kepada Belanda di pelabuhan masing-masing daerah. Sedangkan untuk tingkat lebih kecil lagi yaitu desa tugas tersebut dibebankan kepada lurah setempat dan seorang kontrolir. Lurah diwajibkan untuk membuat semacam laporan tentang hasil penanaman dan dibukukan untuk diserahkan kepada bupati yang kemudian oleh bupati diserahkan kepada kontrolir tingkat residen. Sedangkan tugas kontrolir di pedesaan adalah untuk mengawasi langsung penanaman, apakah penanaman sesuai dengan keinginan pihak Belanda. Dan apabila terjadi kesalahan atau masalah di tingkat desa kontrolir lah yang menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikannya. Maka tugas kontrolir tidaklah mudah dan berat. Oleh karena itu tidak jarang kontrolir bertindak sangat kasar agar tidak sampai terjadi kesalahan dalam penanaman di desa agar namanya tetap aman. Jika kontrolir tersebut aman maka jabatannya juga dapat naik ke tingkat kontrolir residen dan dapat lebih banyak gaji yang didapat. Biasanya kontrolir berdarah Belanda atau pun Indo, karena pribumi masih jarang yang dapat baca tulis, kalau pun ada, pribumi dianggap tidak layak untuk mendapatkan kedudukan sebagai kontrolir.
Struktur administrasi tanam paksa sesuai dengan kebijakan Belanda yang baru setelah tahun 1830. Percobaan-percobaan terdahulu dalam menghubungi langsung para petani ditinggalkan, dan desa menjadi unit dasar pemerintahan. Kepala desa merupakan mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia lain yang lebih tinggi tingkatannya, yang mencapai puncaknya pada bupati (yang disebut regent oleh orang-orang Belanda), yaitu seorang bangsawan yang mengepalai kabupaten. Bupati bertanggung jawab kepada oemerintahan bangsa Eropa, tetapi para pejabat bangsa Eropa juga terlibat pada tingkatan-tingkatan yang lebih rendah. Tujuan-tujuan terdahulu untuk memasukkan suatu perekonomian uang juga ditinggalkan, meskipun pembayaran-pembayaran terhadap hasil panen pada dasarnya memperbanyak jumlah uang yang beredar dan mendorong dimulainya suatu perekonomian uang dan spesialisasi tenaga kerja. Para pejabat baik yang berbangsa Belanda maupun Indonesia yang disuruh melaksanakan rencana baru tersebut dibayar dengan perhitungan presentase terhadap penyerahan-penyerahan komoditi pertanian. Ini merupakan sumber korupsi yang subur dan pendorong bagi tuntutan-tuntutan yang bersifat memeras terhadap desa-desa. Memang korupsi dan penyelewengan merajalela. Hasil-hasil bumi ditaksir terlalu kecil, perdagangan swasta di bidang komoditi pertanian pemerintah semakin meningkat, dan transaksi-transaksi yang curang berkembang di kalangan pejabat-pejabat pribumi, orang-orang Belanda, dan para pengusaha Cina. Pemerintaha kolonial di Batavia tidak pernah mampu untuk memantau dan mengawasi pelaksanaan perintah-perintahnya, meskipun ada kontrolir namun sama saja ketika kontrolir bekerja sama dengan lurah dan pejabat-pejabat lain maka pemerintah kolonial di Batavia pun hanya mengetahui laporan sebatas untuk menyengkan pihak pemerintahan saja.
Guna menjamin agar para bupati dan kepala desa menunaikan tugasnya dengan baik, pemerintah kolonil memberikan perangsang yang disebut CultuurProcenten disamping penghasilan tetap. Cultuur Procenten adalah bonus dalam prosentase tertentu yang diberikan kepada para pegawai Belanda, para Bupati, dan kepala desa apabila hasil produksi di suatu wilayah mencapai atau melampaui target yang dibebankan. Cara-cara itu menimbulkan banyak penyelewengan, baik dalam merekrut jumlah tenaga kerja maupun dalam memaksa penduduk untuk menanami tanah yang luasnya melampaui ketentuan. Dalam hal ini pemerintah kolonial bersikap tutup mata selama hal itu menguntungkan kas negara, akan tetapi penyelewengan tersebut membuat rakyat jelata menjadi sengsara.
Penerapan politik tanam paksa disesuaikan dengan adat pribumi.Maksudnya, kaum bangsawan feudal dikembalikan pada posisi yang lama.Pengaruh mereka dimanfaatkan untuk menggerakkan rakyat, memperbesarkan produksi, dan menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diminta oleh pemerintah kolonial belanda. Bedanya dengan politik konservatif, para bangsawan ditempatkan di bawah kekuasaan pegawai – pegawai pemerintah kolonial belanda yang mengawasi mereka secara ketat.
Sistem presentase (komisi) merupakan cara yang paling umum dan dinilai paling efisien untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari politik tanam paksa. System ini, dalam praktiknya, menjadi sumber korupsi dan penyelewengan.Inilah penyimpangan terpenting dari pelaksanaan kebijakan tanam paksa.
Akan tetapi selama duapuluh tahun pertama dari pelaksanaan sistem Tanam Paksa, yaitu tahun 1830-1850 beban berat yang harus ditanggung oleh rakyat adalah kerja paksa. Pemerintah kolonial mengerahkan tenaga rakyat untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum, antara lain jalan raya, jembatan, dan waduk. Di samping itu, rakyat juga dikerahkan antara lain dalam pembangunan dan pemeliharaan rumah-rumah pegawai kolonial, mengantar surat dan barang serta menjaga gudang. Akan tetapi, yang paling berat bagi rakyat adalah pembangunan dan pemeliharaan benteng-benteng.
Masukan utama dari sistem ini adalah tenaga kerja Jawa dan Sunda. Tanah garapan yang dilibatkan hanya sebagian kecil saja. Diluar daerah-daerah untuk tanaman kopi (yang tumbuh di atas tanah yang tidak dapat ditumbuhi padi) maka untuk seluruh Jawa hanya dilibatkan 6 persen tanah garapan pada tahun 1840 dan 4 persen pada tahun 1850. Ada perbedaan yang besar antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, tetapi angka-angka resmi yang tertinggi adalah untuk Bagelan dan Pekalongan,di mana 15 persen dari jumlah penduduk seluruh Jawa terlibat dalam penanaman komoditi-komoditi pertanian pemerintah pada tahun 1840, dan 46 persen pada tahun 1850. Dengan memperhatikan laporan yang memperkecil angka, Van Niel mengira bahwa lebih dari 70 persen keluarga petani selama kurun waktu 1837-51 menghasilkan komoditi-komoditi ekspor, lebih dari separuhnya berkenaan dengan penanaman kopi. Fasseur yang tidak dikoreksi menunjukkan bahwa di beberapa daerah jumlah penduduk yang terlibat jauh kurang dari separuhnya; akan tetapi, pada tahun 1845 adalah 97 persen.
Presentase-presentase tersebut barangkali menunjukkan suatu eksploatasi yang terus meningkat dipandang dari segi jumah manusianya, karena selama abad XIX jumlah penduduk Jawa tetap menunjukkan peningkatan yang telah mulai pada abad XVIII. Terdapat masalah-masalah yang serius di sekitar angka-angka jumlah penduduk tersebut, tetapi jumlah penduduk pada tahun 1795 mungkin tercapai sekitar 3 juta jiwa dan pada tahun 1830 mencapai 7 juta. Pada tahun 1850 jumlah penduduk telah mencapai 9,4 juta, pada tahun 1870 mencapai 16,2 juta, dan pada tahun 1890 mencapai 23,6 juta jiwa. Dengan demikian, telah terjadi peningkatan sebesar kira-kira delapan kali lipat selama masa satu abad itu. Tersedianya tenaga kerja yang selalu bertambah inilah yang menopang keberhasilan cultuurstelsel.
Dampak cultuurstelsel terhadap orang-orang Jawa dan Sunda di seluruh Jawa sangat beraneka ragam, dan hal ini masih terus diperdebatkan. Sementara menunggu penelitian lebih lanjut, maka tampak bahwa perkiraan-perkiraan tertentu memang masuk akal. Bagi kalangan elite bangsawan diseluruh Jawa zaman ini merupakan suatu masa yang benar-benar menguntungkan. Kedudukan mereka menjadi lebih aman dan penggantian secara turun-temurun untuk jabatan-jabatan resmi menjadi norma, terutama setelah dikeluarkannya Ketentuan Konstitusi (regeringsreglement) tahun 1854, mereka sering kali membuat terkeuntungan yang besar dari pembayaran presentase atas penyerahan-penyeraharan hasil bumi. Akan tetapi, mereka tergantung secara langsung pada kekuasaan Belanda untuk kedudukan dan penghasilan mereka, dan harus melakukan pemaksaan yang ternyata sangat diperlukan bagi berfungsinya cultuurstelsel. Mereka semakin sering menjadi sasaran pengawasan dan campur tangan para pejabat Belanda. Mereka terpisah dari masyarakat mereka sendiri, terbebas dari tekanan sanksi-sanksi pribumi sebelumnya penyelewengan kekuasaan dan sama sekali tidak merasa terpanggil untuk melakukan ‘modernisasi’.t Memang itulah tujuan utama pemerintahan Belanda untuk memanfaatkan prestise ‘tradisional’ kaum bangsawan supaya mendapatkan admistrasi yang murah. Dengan demikian, maka para bangsawan yang tunduk pada kekuasaan Belanda tersebut secara perlahan-lahan meninggalkan kedudukan mereka sebagai pimpinan di dalam masyarakat walaupun prestise mereka masih tetap kuat dikalangan penduduk desa.
Tampaknya cultuurstelsel ini hanya memberi sedikit keuntungan kepada sebagian besar penduduk. Van Niel telah menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1837-51 banyak terjadi perpindahan penduduk ketika penduduk desa berusaha mengelakkan beban kerja dan tidak diperolehnya keuntungan dengan jalan pindah dari kawasan pertanian ke kota-kota, dan meninggalkan wilayah kedalaman menuju daerah pantai. Akan tetapi, kejadian ini memberi keuntungan kepada orang-orang yang tetap tinggal dengan pemilikan tanah yang rata-rata lebih luas dan dengan lebih banyak hewan ternak. Persediaan dan harga bahan pangan semakin membaik. Akan tetapi, pembagian keuntungan-keuntungan semacam itu mungkin sangat tidak merata. Pihak yang semakin makmur dengan adanya cultuurstelsel  termasuk mereka yang memiliki tanah (atau yang memiliki saham pada tanah-tanah desa). Akan tetapi yang paling beruntung adalah para pengusaha cina serta pada admistrator dan para pejabat pribumi yang sebagian besar tidak hanya menerima presentase namun juga memiliki ‘tanah jabatan’( tanah bengkok, ambtsvelden ) berdasarkan jabatan mereka. Walaupun di beberapa daerah terdapat petunjuk tentang perluasan pemilikan tanah dalam rangka menyebarkan beban, namun di daerah-daerah lainnya pemilikan tanah tampaknya telah menjadi semakin terpusat di tangan golongan elite desa yang kaya. Orang-orang lainnya hanya mendapat sedikit keuntungan, dan banyak yang mengambil pilihan tradisional, yaitu melarikan diri untuk mengelakkan beban mereka. Di beberapa daerah telah timbul penderitaan yang extrem. Para pembela cultuurstelsel semula menunjuk pertambahan penduduk pribumi sebagai bukti dari kemakmuran. Oleh karena dimulainya pertambahan jumlah penduduk mendahului dilaksanakan  cultuurstelsel, dan semenjak itu pertambahan terus berlangsung di Jawa (seperti halnya di negara-negara berkembang lainnya) walaupun rakyat sangat menderita, alasan tersebut tampaknya hanya dibuat-buat saja.
Akibat cultuurstelsel bagi pihak Belanda sangat jelas: segera dicapai keuntungan yang sangat besar dan ajek. Sudah sejak tahun 1831 anggaran belanja kolonial indonesia sudah seimbang, dan sesudah itu hutang-hutang lama VOC dilunaskan. Uang dalam jumlah yang sangat besar dikirim ke negeri Belanda; dari tahun 1877 perbendaharaan kerajaan belanda telah menerima 832 juta gulden. Sebelum tahun 1850 kiriman uang tersebut berjumlah sekitar 19 persen dari pendapatan negara Belanda dan pada tahun1851-60 kira-kira 32 pesen. Pendapatan-pendapatan ini membuat perekonomian negeri Belanda tetap stabil. Hutang-hutang dilunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan, terusan-terusan, dan jalan kereta api negara dibangun, semuanya dengan keuntungan-keuntungan yang diperas dari desa-desa di Jawa. Ironisnya dana-dana tersebut juga digunakan untuk membayar ganti rugi kepada para pemilik budak guna memerdekakan kaum budak Suriname. Amsterdam sekali lagi menjadi pasar dunia yang penting bagi hasil bumi daerah tropis, khususnya kopi dan gula. Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Pelaksanaan sistem tanam Paksa menyebabkan bangsa Indonesia menderita, sehingga muncul reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun melalui parlemen di Negeri Belanda.
Telah ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan surplus, setidak-tidaknya secara paksa. Akan tetapi, surplus ini digunakan untuk menopang pemerintahan penjajahan Belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukkannya di daerah-daerah luar Jawa, dan perekonomian dalam negeri Belanda. Investasi yang utama adalah tenaga kerja orang Jawa dan Sunda, sedangkan teknik-teknikan pertanian maupun administrasinya bersifat tradisional. Pihak Belanda telah berhasil memeras perekonomian Jawa, sedangkan keuntungan-keuntungan yang berarti yang dikembalikan hanya kepada sekelompok kecil masyarakat pribumi saja.
Menurut Van den Bosch, cultuurstelsel didasarkan atas dasar atas hukum adat yang dinyatakan barang siapa berkuasa disuatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Sebelum kedatangn Belanda, raja-raja di nusantara yang berkuasa serta memiliki tanah dan penduduk. Karena raja-raja di nusantara sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada Belanda. Pemerintah kolonial memanfaatkan para bupati dan kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah kepada Belanda.
Rencana untuk memeras ekonomi Indonesia dilakukan dengan kedok agama dan adapt-istiadat rakyat, dan hubungan dengan pejabat tradisional seperti seperi raja, bupati, wedana maupun lurah. Kedudukan para pejabat tradisional digunakan oleh Belanda untuk memaksa rakyat bekerja sesuai dengan kehendak Belanda. Untuk mengatur hubungan kerja tersebut, maka dibuat perjanjian tentang pengaturan tenaga dan tanaman yang dikehendaki oleh Belanda. Setiap pejabat tradisional akan mendapat persen dari perjanjian tersebut: Rakyat patuh pada mereka, sebab mereka punya kharisma karena dan adat.
Guna menjamin agar para bupati dari kepala desa melaksanakan tugasnya dengan baik, pemerintah colonial memberikan perangsang yang disebut culture procenten disamping penghasilan tetap.  Cultuur procenten adalah bonus, dalam prosentase tertentu yang diberikan kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala desa apabila hasil produksi di suatau wilayah mencapai atau melampui target yang dibebankan. Cara-cara ini menimbulkan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan dan merugikan rakyat.
Pada tahun 1830-1850 beban yang harus ditanggung oleh rakyat adalah kerja paksa. Pemerintah colonial mengerahkan tenaga rakyat untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum,( Rodi untuk pemerintah Belanda) antar lain jalan raya, jembatan, dan waduk. Disamping itu, rakyat dikerahkan anta lain dalam pembangunan dan pemeliharaan rumah-rumah pegawai kolonial, mengatar surat dan barang, serta menjaga gudang. Rakyat yang tidak memiliki tanah dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah  selam 65 hari setiap tahun. Mereka juga ada yang mesti bekerja jauh dari desanya, dan mereka pula harus menyediakan makanannya sendiri sedang waktu untuk mengerjakan sawahnya habis sehingga persediaan makanan kurang sekali. Buruh yang seharusnya dibayar oleh oleh pemerintah dijadikan tenaga paksa, seperi di Rembang, Jawa Tengah. Kalaupun mereka dibayar mereka hanya dibayar sedikit. Sedangkan pajak atas tanah yang diambil mesti di bayar terus.
Pelaksanaan Sistem tanam paksa tertuang dalam ketentuan-ketentuan pokok dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1834, no 22 berbunyi sebagai berikut:
1.      Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
2.      Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan in tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3.      Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4.      Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5.      Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6.      Panen tanaman dagangan yang gaagl harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan pihak rakyat.
7.      Penduduk desa mengerjakan tanah – tanah meeka dibawah pengawasan kepala –kepala mereka, sedangkan pegawai – pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah pengawasan pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman – tanaman agar berjalan dengan baik dan tepat waktu.
Menurut ketentuan-ketentuan diatas memang tidak terlihat pemerintah Belanda menekan rakyat. Namun di dalam prakteknya pelaksanaan sistem tanam paksa sering sekali menyimpang jauh dari ketentuan-ketentuan di atas, sehingga rakyat banyak dirugikan (Kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan 7). Dalam menjalankan tanam paksa pemerintah Belanda menggunakan ikatan komunal dan ikatan desa untuk mengorganisir masyarakat. Van den bosch menggunakan pengaruh para bupati sehingga kekuasaan para bupati menjadi luas selain itu para bupati dan kepala desa mendapatkan cultuurprocenten disamping pendapatan yang didapat dari pemerintah, cultuurprocenten ini presentase tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman tanaman ekspor yang diserahkan kepada pegawai Belanda, bupati dan kepala desa jika mereka berhasil mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada setiap desa. Cara-cara ini tentu saja menimbulkan banyak penyelewengan yang merugikan rakyat karena pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa mempunyai keuntungan sendiri dalam usaha untuk meningkatkan produksi tanaman dagang untuk ekspor.
Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka. Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk culturstelsel adalah seperlima sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 66 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah. Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak. Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal. Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.
Sistem tanam paksa ini agaknya menunjukkan keberhasilan dalam perbaikan keuangan, ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan surplus meskipun dalam paksaan. Surplus ini hanya digunakan untuk menopang pemerintahan Belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukannya di daerah luar Jawa, dan perekonomian dalam negara Belanda. Investasi yang utama adalah tenaga kerja orang Jawa dan Sunda, sedangkan teknik-teknik pertanian maupun administrasinya bersifat tradisional. Pihak Belanda berhasil memeras perekonomian Jawa, sedangkan keuntungan-keutungan yang berarti yang dikembalikan hanya kepada sekelompok kecil masyarakat pribumi.
Rakyat makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara cuma-cuma kepada Belanda.Sawah dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan mengakibatkan penghasilan menurun.Beban rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.Akibat bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
Pelaksanaan sistem tanam Paksa menyebabkan bangsa Indonesia menderita, sehingga muncul reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun melalui parlemen di Negeri Belanda.
Salah satu akibat yang sangat penting dari tanam paksa adalah meluasnya bentuk tanah milik bersama (komunal). Hal ini dikarenakan para pegawai pemerintah kolonial cenderuing memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam menetapkan tugas penanaman paksa yang dibebankan pada setiap desa. Jika para pegawai pemerintah Belanda misalnya harus mengadakan persetujuan yang terpisah dengan setiap petani, memperoleh seperlima bidang tanah mereka, hal ini akan mempersulit mereka. Maka akan jauh lebih mudah untuk menetapkan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan desa.
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa. Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern.
Untuk pemerintah colonial, sistem tanam paksa telah membawa keuntungan berupa: 11, 3 juta gulden pada tahun 1830. Kemudian keuntungan tersebut meningkat 66, 1 juta gulden pada 1831. Menurut Burger, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan (batig slot) yang diambil dari Jawa sejak 823 juta gulden. Dengan modal sedemikian, Belanda mempunyai cukup modal untuk membayar lunas semua hutang VOC dan merombak perekonomian nasional mereka untuk menyalurkan kredit dalam rangka menumbuhkan pengusaha swasta nasional mereka. Bahkan, pada tahun 1851-1860 Hindia Belanda menyumbang 30 persen dari total pendapatan negeri Belanda.
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotong royong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan Tanam Paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Dampak tanam paksa bagi masyarakat di pulau jawa sangat beragam.Bagi kalangan elite bangsawan, masa tanam paksa mer4upakan masa yang cukup menguntungkan. Kedudukan feudal mereka menjadi lebih aman karena menurut ketentuan jabatan mereka diwariskan turun temurun.Mereka memperoleh persentase keuntungan yang cukup besar dari penyerahan wajib tanam paksa yang mereka kelola.Sebenarnya kaum elite bangsawan pada masa tanam paksa menjadi alat kekuasaan pemerintah colonial belanda.Sehingga tidak heran, agar mendapatkan persentase keuntungan yang lebih besar mereka harus melakukan pemaksaan kepada para petani.
Sementara itu, dampak tanam paksa bagi rakyat kebanyakan dapat dikatakan cukup menyengsarakan, beratnya melaksanakan kerja wajib tanam paksa dirasakan oleh sebagian besar petani.Penanaman tebu dan nila mengambil lahan petani, tenaga kerja, dan air dari penanaman padi sehingga di beberapa daerah sangat merugikan penduduk setempat.Belum lagi terjadinya wabah kelaparan di beberapa daerah seperti priangan timur dan grobogan menunjukkan adanya dampak buruk darikebijakan tanam paksa.
Pada tahun 1840 cultuurstelsel sudah menghadapi berbagai masalah. Tanda-tanda tentang penderitaan di kalangan orang Jawa dan Sunda mulai tampak, khususnya di daerah-daerah penanam tebu. Batang tebu ditanam di tanah garapan tempat ditaman padi, dan waktu yang diperlukan untuk tumbuhnya tebu dan menuainya, disusul dengan persiapan lahan bagi penanaman padi, telah mempersulit tercapainya penggiliran yang konstan bagi kedua komoditi tersebut. Pabrik-pabrik gula juga bersaing dengan pertanian padi untuk jatah air. Timbul paceklik, dan harga beras menjadi goyang dengan beberapa kenaikan harga yang tajam pada tahun 1840-an. Pada tahun 1843 timbul kelaparan yang hebat di Cirebon. Wabah-wabah penyakit berjangkit pada tahun 1846-9, dan kelaparan meluas di Jawa Tengah sekitar tahun 1850. Sementara itu, pemerintah menetapkan kenaikan pajak tanah dan pajak-pajak lainnya secara drastis. Kepergian penduduk dari desa-desa mengakibatkan semakin turunnya hasil pertanian padi. Krisis-krisis keuangan juga terjadi di perusahaan Dagang Belanda (NHM) maupun pada anggaran belanja kolonial di Jawa. Perluasan cultuurstelsel sedang mencapai batasnya, dan pada tahun 1845-50 ekspor kopi, gula,dan nilai merosot. Akan tetapi, keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari kopi dan gula segera meningkat lagi setelah tahun 1850, yaitu ketika harga pasaran dunia untuk komoditi-komoditi tersebut mengalami kenaikan. Masalah pada tahun 1851-70 perbendaharaan kerajaan Belanda menerima kiriman uang sejumlah dua kali lipat dari yang telah diterima pada tahun 1831-50. Akan tetapi, meningkatnya pengeluaran militer secara drastis mengakibatkan defisit sejak tahun 1858 dalam anggaran keuangan kolonial, yang hanya dapat diperbaiki dengan keuntungan-keuntungan cultuurstelsel.
Sistem Tanam Paksa yang dilakukan oleh pihak Belanda memang menuai keuntungan yang melimpah. Sebagai bukti, jika sebelum tahun 1830 pos anggaran Belanda mengalami defisit terus-menerus maka pada tahun 1831 defisit dalam anggaran pemerintah Belanda mengalami suatu surplus sebagai akibat berhasilnya Sistem Tanam Paksa yang diterapkan oleh Hindia-Belanda. Pemerintah Belanda sangat puas atas berhasilnya Sistem Tanam Paksa tersebut, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kondisi rakyat Indonesia ketika Sistem ini diberlakukan, tetapi keadaan mulai berubah ketika tahun 1850, rakyat Belanda lambat laun memperoleh kabar mengenai keadaan rakyat Indonesia yang sebenarnya.
Sebenarnya kalau kita telaah dari ketentuan-ketentuan di atas sama sekali tidak ada unsur tekanan kepada rakyat, tetapi dalam prakteknya banyak sekali penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan-ketentuan pokok tadi, sekali lagi siapa yang dirugikan ? yang jelas rakyatlah yang dirugikan. Dengan program-program pemerintah kolonial seperti peningkatan produksi tanaman ekspor dan ini sebagai peningkatan efesiensi dari sistem tanam paksa ini. Di lain pihak kita tahu ada peningkatan efesiensi untuk menghasilkan barang ekspor tetapi dilain pihak ada penambahan beban yang harus dipikul rakyat.
Menurut saya system tanam paksa yang dijalankan oleh pemerintah colonial terhadap rakyat hanya banya kerugian terhadap rakyat itu sendiri. Ntah apa yang menjadi keuntungan dari system tanam paksa ini tehadap rakyat. Kalau kita pelajari, keuntungan dari system tanam paksa ini hanya dnirasakan oleh pemerintah kolonial dan para pegawainya. Dipihak lain, rakyat hanya menerima banyak kerugian yang mereka tanggung sendiri. Selain harus menyerahkan tenaga untuk melaksanakan system tanam paksa ini mereka juga harus membayar pajak tanah juga. Sebenarnya kalau ada sistem pemungutan pajak dari rakyat seharusnya harus ada timbal balik kepada rakyat. terhadap pajak yang telah dibayarnya, tetapi malah sebaliknya rakyat tidak bisa menikmati dari hasil pajak itu. Pemerintah kolonial dalam melaksanaan tanam paksa ini memanfaatkan organisasi desa untuk mengawasi rakyat dalam pelaksanaan sistem tanam paksa itu, dan pasti yang berperan di sini adalah kepala desa yang dibayar oleh pemerintah kolonial.dan tak pelak lagi yang menjadi sasaran pemerasan adalah rakyat.
Sistem tanam paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda juga ada sisi positipnya bagi rakyat itu sendiri,. Kita tidak boleh juga menafikan hal ini, karena dengan adanya sistem tanam paksa rakyat lebih banyak mengetahui lagi tentang jenis tanaman-tanaman yang sebelumnya mereka tidak mengetahuinya. Selain itu juga rakyat mempunyai pengalam baru tentang bagaimana cara mengolah tanaman. Kalau kita lihat banyaknya perkebunan-perkebunan di masa sekarang ini yang ada di Indonesia khususnya di pulau jawa itu merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang sekarang di ambil alih oleh pemirintah Indonesia. Perkebunan- perkebunan itu berupa perkebunan teh, karet, cacao, tebu, dan hasil komoditi-komoditi tersebut menjadi komoditi utama negara Indonesia untuk di ekspor ke negara lain, dan sampai sekarang masih berlanjut Jadi, selain banyak menimbulkan kerugian, system tanam paksa juga mempunyai sisi yang menguntungkan. Kita tidak bisa bayangkan bagimana kalau dahulu pemerintah colonial tidak membuka perkebunan-perkebunan, bisa jadi negara Indonesia sekarang ini tidak mempunyai warisan perkebunan-perkebunan yang sekarang menjadi hasil komiditi utama. Selain itu juga, keahlian-keahlian mengolah tanaman yang diwariskan nenek moyang kita, itu merupakan peninggalan dari system tanam paksa itu tadi.
Kemunculan perusahaan perkebunan bukan tanpa sebab ataupun implikasi yang terjadi di masyarakat. Salah satu yang mendasar ialah berubahnya sistem kekerabatan yang awalnya berupa sistem feodal dengan sistem modern. Pengertian sistem feodal disini adalah sistem ekonomi yang dilakukan oleh pribumi secara patron-client. Sebagai contoh, dalam membangun rumah pada awalnya orang membantu secara sukarela. Mereka saling bergantian membantu, karena pada awalnya desa itu dibentuk dari beberapa ikatan kekeluargaan. Ketika muncul Sistem Tanam Paksa salah satu perubahaannya ialah mengenal sistem upah atau gaji. Jadi setiap pekerjaan membantu tersebut tidak diganti dengan pekerjaan lagi di lain waktu, tetapi dibayar melalui upah.
Modal utama dalam perkebunan ialah tanah, di beberapa daerah tanah tersebut menjadi permasalahan yang pelik. Masalah yang terjadi misalkan hak-hak pemilikan tanah di dalam desa serta kesinambungan tradisi dan ikatan sosial diantara penduduk desa. Memiliki dan menguasai hak tanah secara individual menambah kerusakan dalam tatanan ketertiban di desa, karena secara ekonomis yang menggarap desa bukan bagian dari desa tersebut. Jika ada yang melawan atau tidak setuju dengan pemilikan tanah maka orang tersebut bisa diusir dari desa. Maka yang terjadi ialah peralihan struktur sosial dan ekonomi desa yang mengubah ikatan desa menjadi sebuah ikatan sosial dan suatu unit yang produktif.
Selain perubahan dalam pembentukan modal, ekonomi pedesaan juga menjadi salah satu permasalahan yang patut diperjelas dalam tulisan ini. Ketika Sistem Tanam Paksa muncul, terjadi perubahan terhadap hasil panen dan tenaga buruh yang murah menjadi pengaturan fungsional. Desa-desa dihadapkan menjadi pilihan sebagai sumber tenaga buruh dan juga hasil pertaniannya yang dapat ditarik. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa terkadang elit desa itu sendiri yang juga memberatkan masyarakat. Terlihat bagaimana elit atau kepada desa menjadi pemegang kekuasaan dalam pengawasan lahan, tenaga buruh dan hasil pertanian.
Ketika perusahaan yang terkait dengan sistem tanam paksa (pabrik nila dan tebu, perusahaan kopi, teh dan tembakau) dibangun, maka wilayah yang menjadi tujuan ialah wilayah di daerah pertanian. Dorongan ekonomi yang ditimbulkan dari pembangunan pabrik ialah permintaan yang besar terhadap tenaga kerja tetap dan musiman, dan akan bahan bangunan untuk mendirikan pabrik. Akhirnya yang terjadi ialah terjadi juga perpindahan penduduk dari satu desa ke desa lainnya. Selain itu muncul pula pasar-pasar di daerah pedesaan dan diversifikasi lapangan kerja.
Berbicara mengenai diversifikasi pekerjaan kerap identik dengan industrialisasi. Industrialisasi bukanlah fenomena baru pada tahun 1830, hanya peristiwa ini diperkuat dengan masuknya Sistem Tanam Paksa. Namun yang jelas, bahwa Sistem Tanam Paksa adalah bagian integral dalam cerita sejarah yang lebih panjang yang melibatkan hubungan Jawa masuk ke dalam suatu sistem ekonomi pasar.
Dampak Tanam Paksa bagi Indonesia
Pelaksanaan tanam paksa selama tahun 1830-1870 banyak mengakibatkan dampak yang luar biasa bagi kedua belah pihak, baik pihak Belanda maupun pihak Indonesia. Dampak tersebut pun juga tidak selamanya buruk. Ada juga dampak positif yang dihasilkan dari tanam paksa tersebut.
Dampak negatif sistem tanam paksa
Sebagaimana dijelaskan dimuka, sistem tanam paksa yang diterapkan itu pada dasarnya adalah penghidupan kembali sistem eksploitasi dari jaman VOC yang berupa penyerahan wajib. Dalam perumusannya, sistem tanam paksa merupakan merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah. Maka, ciri pokok sistem tanam paksa terletak pada keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk barang, bukan dalam bentuk uang.
Dalam prakteknya, pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah sering tidak sesuai dengan ketentuan yang tertulis. Dapat dikatakan bahwa antara peraturan dan pelaksanaan sangat berbeda. Contohnya, penyediaan tanah untuk tanaman yang diminta pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan, karena dilakukan dengan cara paksaan, bukan dengan persetujuan sukarela.
Secara garis besar sistem tanam paksa ini telah menimbukan berbagai akibat pada kehidupan masyarakat pedesaan di Pulau Jawa, yaitu menyangkut tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa telah mencampuri sistem pemilikan tanah di pedesaan, karena para petani diharuskan untuk menyerahkan tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. Perubahan ini telah menyebabkan pergeseran sistem penguasaan dan pemilikan tanah. sistem tanam paksa juga membutuhkan tenaga kerja rakyat secara besar-besaran untuk penggarapan lahan, penanaman, dan lain-lain. Kerja paksa ini sangat memberatkan penduduk, selain karena tidak diberi upah, juga karena tugas pekerjaan yang harus dikerjakan secara fisik cukup berat.
Meluasnya bentuk milik tanah bersama (komunal) tujuannya mempermudah menetapakan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan. Hal ini berarti kepastian hukum individu telah lepas. Kepemilikan tanah pada awalnya adalah milik perorangan. Kita tahu bahwa masyarakat Jawa dalam pembagian warisan tanah mempunyai sistem untuk pembagiannya sendiri. Pembagian warisan tanah tersebut diwariskan kepada anak-anak mereka yang diharapkan tanah-tanah warisan tersebut dapat dilanjutkan pengelolaannya oleh anak-anaknya tersebut. Namun ketika kebijakan tanam paksa dijalankan di Indonesia, khususnya Jawa, kepemilikan tanah tersebut yang semula individual menjadi lebih internal lagi karena kepemilikan tanahnya telah diambil alih oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Alasan-alasan pengambil alihan tersebut telah dijelaskan sejak awal, yaitu sebagai pengganti pajak tanah.
Meluasnya kekuasaan bupati dan kepala desa yang digunakan pemerintah Belanda sebagai alat organisir masyarakat. Menimbulkan banyak penyelewengan salah satunya dari cultuurprocenten. Belanda tentu akan kesulitan untuk mengontrol pekerja-pekerja yang bekerja didalam sistem tanam paksa. Maka Belanda kemudian mengajak bupati dan kepala desa untuk bekerja sama dengan Belanda guna mengawasi pekerja-pekerja yang bekerja tersebut. Selain itu lurah dan bupati berguna untuk mengawasi tindakan-tindakan pribumi, karena terkadang pribumi yang merasa terdesak dan frustasi akan melakukan berbagai cara untuk menyalurkan aspiranya. Karena aspirasi masyarakat pribumi tersebut sangat dikekang oleh Belanda.
Tanah tanah pertanian  yang harus dijadikan untuk tanaman dagang sering melebihi seperlima dari seluruh tanah pertanian di desa. Awalnya kebijakan tanam paksa adalah menyewa tanah dari kalangan pribumi untuk ditanami sendiri oleh Belanda yang kemudian hasil panen tersebut dijual kepada Belanda. Kemudian dari hasil penjualan tersebut akan dipotong sesuai dengan pajak tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah tersebut. Namun penyewaan tanah tersebut tidak berjalan sesuai dengan peraturan yang telah disepakati di awal perjanjian. Kenyataannya penyewaan tanah melebihi dari seperlima milik tanah pribumi. Hal ini ditambah lagi dengan kebijakan Belanda yang mengharuskan pribumi tersebut untuk bekerja untuk pemerintahan Belanda.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.
Kerja Rodi memiliki arti kerja tanpa upah, tanpa istirahat demi membangun sebuah benteng dan jalan raya, tanpa membantah apa yang telah diperintahkan oleh tentara Belanda, dan menuruti apa yang diperintahkannya. Sebenarnya kita tidak pernah belajar dari sejarah masa lalu, ketika  kolonialisme Belanda menjejakkan kakinya di Bumi Pertiwi ini. Praktik perbudakan dan kerja paksa  telah diberlakukan Belanda hampir di seluruh Indonesia selama tiga setengah abad . Bentuk-bentuk  perbudakan itu banyak dikenal  dengan sistem kerja paksa (rodi), tanam paksa (culture steelsel),  dan landrente (sewa tanah). Belanda menjalankan semua sistem tersebut sebagai salah satu upaya memperkaya bangsanya dengan cara memeras bangsa terjajah. Kekejaman perbudakan Belanda tersebut tidak akan terbayar dengan dilaksanakannya politik balas budi. Meskipun melalui politik etis itu kita mulai menyadari arti pentingnya kebebasan untuk mendapatkan hak-hak asasi kita yang selama ini telah dirampas  oleh kaphe-kaphe Belanda.
Rodi pada zaman penjajahan Belanda dikerjakan laki – laki secara serentak. Ditinjau dari aspek sejarah perkembangan Indonesia pekerjaan Rodi dan jenisnya adalah sebagai berikut :
1.      Rodi untuk kepentingan Gubernemen dan para pegawainya. Dalam bahasa Belanda rodi (disini) yang sebenarnya kerja paksa itu diperindah istilahnya dengan : Herendienst = Dinas tuan – tuan.
2.      Rodi untuk kepentingan pembesar
3.      Rodi untuk kepentingan desa
Rodi untuk kepentingan Gubernemen ini dilakukan oleh sejumlah besar kaum laki – laki tanpa menerima bayaran sesen pun. Demikian pula rodi untuk pembesaranya. Rodi itu sangat berat, barang kali lebih berat dari perbudakan, sebab jika budak bekerja sedikit banyak pemilik budak menyediakan makanan, tempat pemondokan, dalam pekerjaan rodi yang dilakukan sampai berminggu – minggu lamanya semua laki – laki yang bekerja itu harus mencari / menyediakan sendiri makanannya, mereka harus mencari tempat sendiri dimana mereka bisa bernaung dimalam hari. Pihak Gubernemen tahun beres saja pekerjaan selesai. Pekerjaan rodi yang dilakukan ialah seperti mendirikan jembatan, mendirikan pabrik, mendirikan benteng, pengangkutan barang dan sebagainya, untuk kepentingan Gubernemen atau pembesarnya.
Tanam paksa berjalan terus tanpa diketahui oleh pemerintah pusat, bagaimana pelaksanaannya ? dan apa akibat yang ditimbulkannya. Barulah pada tahun 1843 pemerintah kolonial di Batavia mengetahui tentang adanya musibah kelaparan di daerah Cirebon. pada tahun 1840, tanda – tanda penderitaan dari orang – orang sunda dan jawa mulai tampak, khususnya di daerah penanaman tebu, adanya pergiliran tanaman antara tebu dan padi mengalami kesulitan, karena tebu telah menyita banyak waktu dan tenaga para petani, sehingga penanaman padi cenderung tidak stabil dan diabaikan. Hal ini diperparah oleh adanya pabrik gula yang menyita jatah air dan tanaman padi penduduk untuk tanaman tebu. Timbul paceklik dan harga beras naik, kelaparan dan musibah kematian terjadi di mana – mana. Setelah itu pada kurun waktu 1845 – 1850 ekspor kopi, gula dan nila merosot, sehingga hanya mendatangkan sedikit keuntungan bagi negeri Belanda. Pada umumnya tidak tau menau mengenai keadaan penduduk jawa yang menyedihkan. Hal ini disebabkan oleh adanya usaha pemerintah untuk melanggengkan penerapan cultuur stelsel di Indonesia. Kurangnya media komunikasi juga menjadi penyabab kurang taunya masyarakat Belanda tentang keadaan bangsa Indonesia yang sebenarnya.
Dampak positif tanam paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia (1830-1870) bagi negeri Belanda telah mampu menghapuskan utang-utang internasionalnya bahkan  menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia untuk komoditi tropis. Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui betapa pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia ini telah memberikan keuntungan yang melimpah bagi negeri Belanda, namun tidak halnya bagi masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, sistem tanam paksa telah menimbulkan berbagai akibat pada masyarakat pedesaan utamanya berkaitan dengan hak kepemilikan tanah dan ketenagakerjaan. Meskipun demikian, pelaksaan sistem tanam paksa sedikit banyak juga telah memberikan nilai-nilai positif bagi masyarakat di pedesaan.
Dalam tanam paksa, jenis tanaman wajib yang diperintahkan untuk ditanam adalah kopi, tebu, dan indigo. Dengan diperkenalkannya tanaman-tanamn ekspor ini maka masyarakat dapat mengetahui tanaman apa saja yang bernilai jual tinggi di pasaran internasional. Dengan bertambahnya pengetahuan masyarakat tradisional tentang tanaman ekspor, maka tentunya etos kerja masyarakat akan mengalami peningkatan.
Sistem tanam paksa dapat diibaratkan sebagai 1 keping uang logam, disatu sisi pelaksanannya telah memunculkan satu kerugian bagi masyarakat pedesaan Indonesia, namun disisi lain sistem tanam paksa juga memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia.
Belanda menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual untuk diekspor Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti kopi, nila, lada, tebu. Masyarakat Indonesia awalnya hanyalah mengenal pertanian-pertanian saja, terutama padi. Ini dapat dimaklumi karena masyarakat Indonesia sejak berabad-abad yang lalu mengenal pertanian dan menerpakannya untuk kebutuhan sehari. Bahkan pertanian tersebutlah yang membawa nama Nusantara ke jajaran internasional. Namun ketika Belanda memperkenalkan kopi, Belanda telah ikut andil dalam penanaman pengetahuan untuk masyarakat Indonesia terutama dalam bidang perkebunan.
Diperkenalkannya mata uang secara besar – besaran samapai lapisan terbawah masyarakat Jawa. Pada awalnya masyarakat pribumi mengenal uang namun belum terlalu populer karena masyarakat Indonesia lebih sering menerapkan sistem barter untuk kehidupan bermasyarakat. Walaupun sistem uang telah diperkenalkan pada jaman kerajaan, peredarannya pun belum terlalu besar dan hanya untuk kalangan tertentu saja.
Perluasan jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya bukan untuk menaikan taraf hidup masyarakat Indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda sendiri, tetapi hal ini mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang. Ketika menerapkan pemaksimalan akses jalan raya juga banyak menimbulkan kerugian untuk masyarakat Indonesia karena dalam pembangunan jalan raya tersebut banyak memakan korban, kita dapat melihat contoh tersebut pada pembuatan jalan raya Anyer-Panarukan. Meskipun pembangunan jalan raya tersebut banyak memakan korban, namun juga ada dampak positif yang dihasilkan dari pembangunan jalan raya tersebut. Kita dapat menikmati akses jalan raya tersebut sekarang sepanjang jalur utara Pantai Utara Jawa atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan sebutan Pantura.
Berkembangnya industialisasi di pedesaan juga merupakan sisi positif dari diterapkannya sistem tanam paksa. Kita dapat menjumpai pabrik-pabrik di berbagai daerah. Hampir di setiap kabupaten di Jawa pasti ada pabrik gula dan tidak sedikit yang masih beroperasi hingga sekarang. Ini merupakan dampak peran Belanda terhadap masyarakat Indonesia.
Periode tahun 1860-1870 menjadi masa kemenangan bagi Kaum Liberal di parlemen Belanda. Salah satu tokohnya berhasil menjadi Menteri Koloni, yaitu Van de Putte. Dengan direbutnya jabatan tersebut dari kaum Konservatif, maka komando atas negara jajahan berada dalam genggaman kaum Liberal, sehingga keinginan untuk liberalisasi Hindia Belanda mudah dilaksanakan. Langkah yang diambil oleh Van de Putte berkaitan dengan liberalisasi Hindia Belanda adalah memberlakukan Ontewrp Cultuurwet (hukum kultur). Namun usulan ini mendapatkan kecaman dari kaum Konservatif dan dari partainya sendiri, karena Putte memberikan kepada pemodal maupun petani hak penuh dan kebebasan atas tanah mereka. Pemberian hak penuh dan kebebasan terhadap tanah akan merusak pranata-pranata rakya Jawa dengan banyaknya tanah komunal (tanah yang dimiliki bersama atau tanah adat) beralih menjadi hak milik pribadi karena keinginan rakyat untuk mendapatkan keuntungan. Keadaan ini menyebabkan Van de Putte mengundurkan diri dan diganti oleh Meijer dari partai Konservati.
Namun, kemunduran kaum Liberal dalam parlemen yang ditandai oleh mundurnya Putte bukan berarti semangat perubahan dan liberalisme berhenti. Meskipun kontrol negara koloni berada di tangan kaum Konservatif, namun semangat perbaikan dan perubahan nasib rakyat koloni tetap berjalan. Tujuan-tujuan kaum Liberal terus maju bahkan dibawah kepemimpinan musuh-musuhnya (Konservatif).
Penerapan tanam paksa secara terus menerus di Hindia-Belanda yang dilakukan oleh Belanda rupanya telah membuka hati sebagian politisi Belanda. Ketika Partai Liberal Belanda memenangkan pemilu, banyak politisi Liberal yang mengupayakan untuk menghentikan praktik-praktik tanam paksa. Maka muncullah Undang-Undang Agraria, Politik Ethis (Politik Balas Budi), dan penghapusan tanam paksa.
Undang-Undang Agraria
Pada tahun 1870, pemerintahan Hindia Belanda memasuki masa ekonomi-liberal, yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang dikeluarkan Parlemen Belanda. Tokoh yang mengeluarkan undang-undang ini adalah de Waal, Menteri Jajahan dan Perniagaan Belanda. Secara umum, Undang- Undang Agraria 1870 bertujuan melindungi hak milik petani atas tanahnya dan penguasaan pemodal asing, memberi peluang pada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Indonesia, dan membuka kesempatan kerja pada penduduk Indonesia, terutama buruh pekerjaan.
Dalam Undang-Undang Agraria 1870 secara jelas disebutkan bahwa gubernur jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah pemerintah. Tanah dapat disewakan paling lama 75 tahun. Yang disebutkan sebagai tanah milik pemerintah adalah hutan yang belum dibuka, tanah yang berada di luar wilayah desa dan penghuninya, dan tanah milik adat. Sedangkan tanah penduduk adalah semua sawah, ladang, dan sejenisnya yang dimiliki langsung oleh penduduk.
Tanah semacam itu dapat disewa oleh pihak asing selama lima tahun. Pengusaha swasta diperkenanan seluas-luasnya untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Hanya orang Indonesialah yang berhak memiliki tanah, tetapi orang-orang asing diperbolehkan untuk menyewa dari pemerintah sampai selama tujuh puluh lima tahun. Masa ini dikenal dengan istilah “Politik Pintu Terbuka” atau “Open Door Policy”.
Jenis perkebunan yang dibuka misalnya gula, tebu, kopi, tembakau, teh, kina, kopra, dan sebagainya. Untuk kelancaran produksi tanaman ekspor pemerintah Hindia Belanda membangun waduk-waduk, saluran irigasi, jalan kereta api dan dermaga pelabuhan. Untuk pekerjaan ini kembali pemerintah Belanda mengerahkan tenaga rakyat dengan kerja rodi. Hal ini tentu membawa kesengsaraan bagi rakyat.
Lebih-lebih setelah tahun 1885 harga-harga komoditas ekspor menurun di pasaran karena daerahdaerah di Eropa mulai menanam dan memproduksi gula, sama dengan produksi lainnya mengalami penurunan. Karena itu pada tahun 1885–1900 disebut masa krisis perkebunan. Kemudian pada akhir abad ke-19 muncullah kritik-kritik yang tajam terhadap pemerintah Hindia Belanda dan praktik liberalisme yang gagal memperbaiki nasib kehidupan rakyat jajahan.
Tujuan dikeluarkannya UU Agraria 1870
  • Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal asing.
  • Memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Indonesia seperti dari Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan lain-lain.
  • Membuka kesempatan kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh perkebunan.
Dampak dikeluarkannya UU Agraria antara lain. Perkebunan diperluas, baik di Jawa maupun diluar pulau Jawa. Angkutan laut dimonopoli oleh perusahaan KPM yaitu perusahaan pengangkutan Belanda.
UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.
elain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga mengeluarkan   Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha perkebunan gula. Isi dari UU ini yaitu:
1.   Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
2.   Pada   tahun   1891   semua   perusahaan   gula   milik   pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.
Politik pintu terbuka yang  diharapkan   dapat   memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan sengsara. Adanya UU Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, seperti berikut:
1.  Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
2.  Rakyat menderita dan miskin.
3.  Rakyat   mengenal   sistem   upah   dengan   uang,   juga   mengenal barang barang ekspor dan impor.
4.  Timbul   pedagang   perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi ke daerah   pedalaman,   mengumpulkan   hasil   pertanian dan menjualnya kepada grosir.
5.  Industri atau usaha pribumi mati karena pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.
Rakyat Indonesia diperkenalkan pada betapa pentingnya peran lalu lintas uang (modal) dalam kehidupan ekonomi.Tumbuhnya perkebunan-perkebunan besar meningkat jumlah produksi tanaman ekspor jauh melebihi jumlah produksi semasa berlakunya sistem tanam paksa. ketika itu, Indonesia menjadi penghasil kina nomor satu di dunia.Rakyat Indonesia ikut merasakan manfaat sarana irigasi dan transportasi yg dibangun pemerintah kolonial untuk perkebunan.  Sisi Negatif: eksploitasi sumber daya dan tenaga rakyat
Pemberlakuan Undang-undang agraria tahun 1870 merupakan bentuk  eksploitasi sumber daya alam Indonesia dengan cara baru.  Sama saja dengan sistem tanam paksa, yg memeras keuntungan dari manfaat SDA Indonesia adalah pihak asing. Kehidupan rakyat Indonesia dipersulit oleh membanjirnya barang-barang  impor, sehingga mematikan usah kecil penduduk pribumi karena kalah besaing.
pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang.
Masuknya politik liberal yang disebabkan oleh gelombang liberalisme Eropa pada 1840-an, kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, lalu mengontrol perekonomian Hindia Belanda. Berkredo "kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi", kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat.
Bagi bangsa Indonesia, liberalisme jelas merupakan ideologi yang dapat mengancam kelangsungan kebangsaan Indonesia karena secara material, di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial-politik yang tidak sesuai dan bertentangan dengan sikap politik bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Gerakan globalisasi dengan ideologi liberalismenya secara material adalah upaya sistematis taktis dari negara Barat yang diarahkan untuk meruntuhkan kesepakatan politik bangsa Indonesia dalam memandang hakikat nation state.
Nilai-nilai sosial-politik ideologi liberalisme yang bersifat ekstrem dan bertentangan dengan ideologi Pancasila tersebut adalah: Pertama, ideologi liberalisme menawarkan prinsip kebebasan individual secara mutlak, tidak berpijak pada nilai-nilai moral, kesusilaan, dan keadilan sosial. Kedua, ideologi liberalisme menghendaki adanya sistem pengelolaan perekonomian secara bebas dan tidak menghendaki adanya keterlibatan negara (pemerintah) dalam menciptakan kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat. Ketiga, ideologi liberalisme menganut sistem nilai demokrasi yang menggunakan ukuran pembenaran berdasarkan kebutuhan diktator mayoritas, sehingga untuk mencapainya cukup dengan ukuran 50% ditambah 1 selesai. Namun demokrasi yang dicita-citakan ideologi Pancasila tidak bisa atau tidak cukup dengan hanya 50% ditambah 1 tetapi harus melalui musyawarah untuk merumuskan sebuah keputusan dalam perspektif kepentingan bersama yang berkeadilan.
Walaupun zaman Hindia Belanda diawali dengan harapan - harapan besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi kolonial sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, namun pada akhir abad ke-19 sudah nyata bahwa rakyat Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik daripada masa yang lampau.
Pada waktu penerapan sistem politik pintu terbuka, tanah milik pemerintah dan milik penduduk yang dimanfaatkan oleh partikelir membuat perjanjian dengan pihak pemerintah dan penduduk untuk melakukan kontrak atau sewa tanah. Sewa tanah dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak.
Bagaimanakah pihak partikelir memanfaatkan tanah-tanah tersebut? Pihak-pihak partikelir memanfaaatkan tanah-tanah tersebut untuk dijadikan areal perkebunan-perkebunan besar yang dapat memberi keuntungan bagi kaum sawasta Belanda. Kekayaan bumi Indonesia berupa hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalir ke Belanda. Belanda menjadi pusat perdagangan dari tanah sedangkan bagi rakyat Indonesia, dengan adanya penanaman modal swasta tersebut justru menimbulkan kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan penduduk serta ketidakberdayaan.

Politik Etis (politik Balas Budi)
Semenjak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem Tanam Paksa di Indonesia, banyak menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi seperti kemiskinan, kelaparan bahkan kematian. Selain itu banyak juga penduduk yang meninggalkan tanah kelahirannya hanya sekedar untuk menghindari diri dari sistem Tanam Paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Berbagai penderitaan pada saat itu banyak dialami oleh masyarakat Indonesia, misalnya kejadian-kejadian diberbagai wilayah di Indonesia, seperti di Cirebon pada tahun 1843 banyak penduduk yang meninggalkan daerahnya dengan tujuan untuk menghindari dari kekejaman belanda. Di daerah lain juga telah mengalami beberapa kejadian kelaparan yang sangat memprihatinkan, seperti di daerah Demak dan Grobogan yang mengakibatkan kematian secara besar-besaran. Sementara itu pada umumnya rakyat di negeri Belanda banyak yang tidak tahu atas kekejaman di daerah tanah jajahannya yang diakibatkan oleh Tanam Paksa, sebaliknya Tanam Paksa telah meningkatkan kemakmuran rakyat di negeri Belanda, sebab banyak mendapat keuntungan yang sangat melimpah dari penyelenggaraan politik Tanam Paksa, sementara akibat dari pelaksanaan politik tersebut masyarakat pribumi (Masyarakat Indonesia) menjadi semakin menderita.
Keadaan seperti ini mulai berubah setelah tahun 1850, dimana rakyat Belanda memperoleh berita mengenai kejadian yang sebenarnya di Indonesia yang ditimbulkan oleh Tanam Paksa. Kesewenang-wenangan dari para pegawai pemerintah kolonial Belanda, kejadian di daerah Cirebon, Demak, dan Grobogan, lambat laun sampai beritanya di negeri Belanda, sehingga antara tahun 1850-1860 timbul terjadi perdebatan diantara para tokoh di negeri Belanda yang peduli terhadap nasib bangsa Indonesia akibat dari kebijakan Tanam Paksa.
Sekitar pertengahan abad ke-19 mulai muncul gerakan humanis di Belanda yang dipelopori antara lain oleh Conrad Theodore van Deventer (1857-1915). Gerakan ini muncul setelah ada berita-berita tentang perilaku kolonial di Hindia Belanda, tegasnya praktek penindasan. Gerakan ini menilai bahwa Belanda telah berhutang budi banyak kepada Hindia Belanda. Belanda telah mengambil banyak dari negeri jajahan, praktis tanpa memberi apa-apa. Gerakan ini menuntut perubahan bentuk hubungan yang menguntungkan sefihak tersebut menjadi hubungan yang saling menguntungkan (symbiosis mutualism).
Adapun yang tergolong kepada kelompok kaum humaniter lainnya diantaranya seperti : Walter Baron Van Hoevel, Fransen Van De Futte, juga seorang Perdana Menteri Torbeck tampil ke depan untuk membela kepentingan bangsa Indonesia. Pada saat itu tokoh yang dianggap paling berhasil merubah opini rakyat Belanda dengan sebuah karya tulisannya adalah “Douwes Dekker” dengan nama samarannya “Multatuli”. Yang berhasil menulis sebuah karya buku yang berjudul “Max Havelaar”.
Politik Etis kolonial Belanda ini awalnya tatkala dirumuskan menimbulkan sikap pro dan kontra, baik di kalangan para intelektual, politisi dan rohaniawan (kalangan gereja) di Belanda. Ada sebagian yang menentang (dalam kadar yang cukup keras) di Parlemen Belanda, namun di lain pihak ada yang mendukung program ini yang mereka anggap sebagai sesuatu yang ‘manusiawi’ atau bahkan sebagai ‘kewajiban moral’ terhadap rakyat Indonesia.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:
– irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
– emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigras
– memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).

Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Terlepas dari masalah pro dan kontra tersebut, setelah Ratu Wilhelmina mengeluarkan pidato di Staten General pada tahun 1901, maka mulailah berlaku Politik Etis tersebut di lapangan secara nyata. Sebelum tahun 1901 politik Belanda semata-mata mementingkan tuntutan ekonomi, yang karena itu penghisapan kekayaan terhadap Indonesia sama sekali tidak memperhitungkan rakyat Indonesia. Dengan adanya pidato Ratu Wilhelmina tersebut dimungkinkan ada keseimbangan antara unsur menjajah dengan unsur memiliki ‘kewajiban moral’ itu.
Jabaran Politik Etis itu oleh Van Deventer dikonsepsikan dalam wujud irigasi, edukasi dan emigrasi. Dukungan yang mula-mula muncul adalah dari kalangan kapitalis dan industrialis Belanda yang pada hakekatnya berkeinginan untuk memasarkan hasil industrinya sambil melakukan perbaikan ekonomi rakyat Indonesia.
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Sebenarnya pendidikan pun tidak jauh berbeda dengan poin pertama dan kedua. Pelajar-pelajar lulusan sekolah Belanda akan direkrut kembali oleh Belanda yang kemudian akan dipekerjakan kembali di sektor-sektor yang Belanda tentukan. Oleh karena itu, selain pendidikan membuat masyarakat Indonesia semakin baik dan berpikiran terbuka, pendidikan juga menguntungkan Belanda.
Perbaikan sosial yang nampak mulai ditanggapi antara lain dalam hal pendidikan. Mengapa ini dilakukan ? Sebab, masalah pendidikan (edukasi) hampir tidak tergarap dan memang sengaja tidak digarap sebelum Politik Etis dicetuskan. Hal ini tergambar dalam tulisan Van Deventer dalam majalah De Gids (1908) sebagai berikut: “Sampai pada waktu-waktu yang terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan akal budi pekeerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati pemerintah.
Sesuai dengan semangat Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda memperbanyak jumlah sekolah. Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian dilanjutkan denmgan program Vervolg School (sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Pemulaan sekolah semacam ini lalu dilanjutkan untuk tahun-tahun berikutnya, misalnya yang dinamakan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP pada zaman Belanda dan program Algemeene Middelbare School (AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA.
Walaupun nampaknya cukup baik tujuan didirikan bentuk-bentuk persekolahan di atas, namun dalam prakteknya, sekalipun tidak secara langsung, terdapat kecenderungan diskriminatif. Kecenderungan itu nampak dalam hal cara menyaring anak sekolah. Caranya ialah dengan memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal, dan juga sering diutamakan bagi keluarga yang memiliki keturunan darah biru (darah ningrat, darah keraton) atau dari kalangan para “priyayi” (pangreh praja atau pegawai dalam kantor pemerintah Belanda). Oleh karena itu, bagi kalangan masyarakat bawah, maka hanya dari anggota masyarakat yang mampu atau kaya saja yang dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang cukup tinggi. Bagi anggota masyarakat yang kurang berpunya atau miskin terpaksa tidak dapat memasukkan anak-anaknya ke sekolah, atau paling tidak terpaksa mengambil alternatif lain, misalnya memasukkan anak-anaknya ke dalam pondok pesantren.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa tujuan penyelenggaraan sekolah yang dilakukan Belanda di atas tidak murni hanya semata-mata untuk memberdayakan pendidikan masyarakat, melainkan justru untuk menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan level pendidikannya) untuk dapat direkrut dalam jabatan-jabatan teknis di pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai contoh, sejak 1864 oleh Belanda telah diintroduksi sebuah program ujian yang disebut Klein Ambtenaars’ Examen, yaitu sebuah program ujian pegawai rendah yang harus ditempuh agar seseorang dapat diangkat sebagai pegawai pemerintah. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa program untuk menciptakan birokrat rendahan yang cukup menonjol, apalagi setelah pada tahun 1900 diperkenalkan sekolah Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah untuk kalangan pribumi. Dengan demikian terdapat kesan kuat bahwa kegiatan pendidikan adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda.
Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.
Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers) dan Tionghoa.
Pendidikan dan emansipasi bangsa Indonesia secara berangsur-angsaur itulah inti Politik Etis. Pendidikan Indonesia harus di arahkan dari ketidakmatangan yang di paksakan agar berdiri di atas kaki sendiri. Mereka harus di berikan lebih banyak tanggung jawab dalam administrasi oleh orang-orang pribumi. Banyak diantara penganut Politik Etis yakni bahwa Indonesia harus berkembang menjadi kebudayaan Barat. Pada tahap pertama golongan aristokrasi yang harus terkena pengaruhnya kebudayaan Barat. Usaha westernisasi penduduk asli kemudian dikenal sebagai asosiasi. Tujuannya ialah menjembatani Timur dan Barat, orang Indonesia dengan orang Belanda. Yang di jajah dengan yang menjajah. Bahwa timbul  asimlasi yang bertujuan memberikan tanah jajahan struktur sosial dan politik yang sama dengan negeri Belanda.

Pengahapusan tanam paksa
Pengerahan tenaga untuk mengerjakan tanam paksa tidak jarang melampaui batas-batasnya, seperti rakyat disuruh pergi meninggalkan desanya untuk dipaksa menanam tanaman indigo di daerah lain selama berbulan-bulan tanpa jaminan hidup yang jelas. Penanaman tebu juga membawa beban yang sangat berat bagi rakyat oleh karena menuntut pengolahan tanah yang intensif, pengairan, pemeliharaan sampai dengan panen yang memakan banyak waktu dan tenaga. Penyelenggaraannya sukar diatur secara bersama dengan penanaman padi oleh karena keduanya memakai tanah yang sama. Sering kali penanaman padi tidak dapat dimulai dengan tepat karena menunggu sampai tebu ditebang. Selain itu, bagian tanah yang diminta untuk menanami tanaman wajib yang melebihi dari 1/5 luas tanah telah mengurangi luas lahan untuk menanam tanaman pangan dan berakibat pada menurunnya hasil panen tanaman pangan seperti padi dan makanan pokok lainnya. Hal ini meniumbulkan kelangkaan pangan dan bencana kelaparan terjadi.
Pemerintah menjadi semakin memahami akibat buruk dari penyimpangan sistem tanam paksa, terutama setelah terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah, yang banyak membawa korban kematian dan penderitaan penduduk. Kritik dan gerakan untuk menghapus system tanam paksa mulai dilancarkan, seperti yang dilakukan oleh Vitalis dan van Hoevel. Gerakan ini baru berhasil pada tahun 1860, setelah sebagian besar tanam paksa dihapuskan.Bebarapa tanaman paksa dihapuskan secara bertahap dihapuskan sesudah tahun 1860, seperti lada pada tahun 1862, nila, teh dan kayu manis pada tahun 1865, dan tembakau pada tahun 1866.
Golongan yang menentang tanam paksa di Indonesia sendiri terdiri atas golongan bawah yang merasa iba mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak saja dikuasai oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal.
ka kita melihat dampak tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosc, maka pihak Belandalah yang mendapatkan dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini. Sedangkan yang diterima oleh bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya kesejahteraan hidup.
Undang-Undang Agraria tahun 1870 membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Hanya orang-orang indonesialah yang dapat memiliki tanah, tetapi orang-orang asing diperkenankan menyewanya dari pemerintah sampai selama tujuh puluh lima tahun atau dari para pemilik pribumi untuk masa paling lama antara lima dan dua puluh tahun ( tergantung pada persyaratan hak pemilikan tanah ). Perkebunan swasta kini dapat berkembang di Jawa maupun di daerah-daerah luar jawa. Perkebunan terusan Suez pada tahun 1869 dan perkembangan pelayaran dengan kapal uap (sebagian besar berada di tangan orang-orang inggris) dari waktu yang kira-kira sama mendorong lebih lanjut perkembangan swasta dengan semakin membaiknya sistem perhubungan dengan eropa. Pada tahun 1860 eskpor swasta dan pemerintahan seluruh indonesia kira-kira sama nilainya, tetapi pada tahun 1885 ekspor swasta mencapai jumlah sepuluh kali lipat dari ekspor pemerintah. Keseluruan nilai ekspor negara dan swasta pada tahun 1860. Jumlah orang sipil eropa di Jawa meningkat dengan pesat, yaitu dari 17.285 orang pada tahun 1852 menjadi 62.477 orang pada tahun 1900. Periode ‘liberal’ ini (sekitar 1870-1900) merupakan jaman ketika semakin hebat eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian Jawa maupun di daerah-daerah luar Jawa.
Dampak periode ‘liberal’ setelah sekitar tahun 1870 terhadap penduduk pribumi Jawa masih perlu diselidiki. Bagi masyarakat agraris masa ini barangkali merupakan suatu masa penderitaan yang semakin berat. Jumlah penduduk semakin bertambah, sehingga semakin membesar tekanan terhadap sumber-sumber bahan pangan; tanah yang terbaik sudah digunakan, sehingga tanaman padi hanya dapat diperluas ke kawasan-kawasan yang kurang subur. Terdapat bukti bahwa konsumsi beras per kapita di dalam negeri dan kebutuhan akan tekstil katun impor, dua petunjuk utama tentang kesejahteraan rakyat, agaknya meningkat sekitar tahun 1870-5, tetapi tampaknya setelah itu merosot dengan cepat. Penanaman padi meluas, tetapi kalah cepat daripada lajunya pertambahan jumlah penduduk.
Pembebasan petani secara berangsur-angsur dari penanaman komoditi-komoditi ekspor yang sifatnya paksaan hanya menimbulkan sedikit perbaikan, karena pajak tanah dan bentuk-bentuk pembayaran lainnya masih tetap harus diserahkan kepada pemerintah tetapi sumber penghasilan untuk membayar pajak-pajak tersebut telah dihapuskan. Laporan van Deventer tahun 1904 memperkirakan bahwa rata-rata keluarga di Jawa harus membayar kepada pemerintah sebesar 23 persen dari penghasilan tunainya dan 20 persen dari keseluruhan penghasilannya (uang dan barang). Penderitaan tersebut terutama terasa di daerah-daerah penanaman kopi,  karena lahan kopi tidak dapat diubah untuk menanam koditi-komoditi perdagangan lainnya. Penyakit-penyakit kopi berjangkit sejak tahun 1878; apa lagi tanpa adanya paksaan terhadap tenaga kerja atau upah dan dan harga yang menarik,hasil kopi merosot. Untuk dapat membayar pajak-pajak mereka dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan lainnya, maka para petani harus berpaling  kepada para lintah darat, di antaranya yang mencolok adalah para haji lokal. Para haji lokal secara hukum adalah ‘penduduk pribumi’ sehingga dapat memiliki tanah. Oleh karena petani-petani seringkali tmampu membayar kembali hutang-hutang mereka, maka tanah-tanah mereka disita oleh para haji tersebut. Ini mengakibatkan semakin banyaknya oarang yang tidak mempunyai tanah. Orang-orang cina, yang termasuk golongan ‘orang-orang Timur Asing’, tidak dapat memiliki tanah sehingga harus bekerja melalui para penghubung pribumi, tetapi mereka mempunyai posisi yang kuat karena memiliki rumah-rumah gadai dan sekaligus gudang-gudang candu. Penyewaan Hak menjual candu oleh negara baru dihapuskan pada awal 1904 dan persewaan pengadaian secara bertahap tidak lama sesudah itu. Akan tetapi, dalam pandangan van Deventer orang-orang arabah yang merupakan lintah darat yang paling serakah daripada yang lain.
Elite kerajaan jawa kini tergeser dari urusan-urusan politik. Pemberontak benar-benar ditinggalkan sesudah tahun 1830. Memang terjadi beberapa kekacauan di daerah-daerah kekuasaan kerajaan, tetapi sangat jarang melibatkan para angota keluarga kerajaan, tetapi sangat jarang melibatkan para anggota keluarga kerajaan. Pada tahun 1842 lima orang pangeran muda surakarta pergi meninggalkan istana dan bersuaha meninggalkan kerusuhan, tetapi mereka dapat ditangkap dalam waktu lima hari. Di Yogyakarta pada tahun 1883 sebuah pemberontakan untuk kepentingan seorang pangeran yang agak dungu yang bernama pangeran Suryengalaga direncanakan oleh ibunya. Kejadian ini mencemaskan pihak Belanda dan kalangan kerajaan Yogyakarta, tetapi akhirnya peristiwa tersebut dapat segera ditumpas. Suryengalaga maupun ibunya dibuang kepengasingan di manado dalam waktu seminggu setelah upaya pemberontakan mereka itu. Akan tetapi, nama Suryengalaga masih tetap disebut-sebut dalam beberapa persekongkolan yang menyusul kemudian. Perasaan benci terhadap pihak Belanda tampaknya masih tetap berlanjut di beberapa kalangan istana, tetapi hal ini tidak menyebabkan tindakan perlawanan yang serius terhadap kekuasaan Belanda.









DAFTAR PUSTAKA

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2011
http://ssbelajar.blogspot.com/2012/06/undang-undang-agraria-1870.html
http://indahsekart20.blogspot.com/2012/10/undang-undang-agraria-tahun-1870.html
http://harunarcom.blogspot.com/2014/01/cultuurstelsel-atau-sistemtanam-paksa.html
http://www.scribd.com/doc/46914891/Makalah-Sistem-Sewa-Tanah-Dan-Sistem-Tanam-Paksa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar