TANAM
PAKSA di PULAU JAWA (1830-1870)
A.
Latar
Belakang Penerapan Sistem Tanam Paksa (Culturstelsel)
Pelaksanaan
sistem tanam paksa (culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia
Belanda dalam memperbaiki keuangan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya
sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825).
Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang
dengan pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819,
menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia
Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi
dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan
utama bagi Belanda.
Ciri
utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk
membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk
hasil-hasil pertanian mereka. Pada hakikatnya sistem taman paksa ini adalah
penerapan kembali sistem penanaman wajib yang berlaku di Parahyangan selama
1810-1830.
Setelah
sistem pajak tanah yang diberlakukan oleh Raffles, kemudian digantikan oleh
sistem taman paksa. Tahun 1830, pemerintah Hindia-Belanda mengankat Gubernur
Jenderal baru untuk Indonesia, yaitu Johanes van Den Bosch. Tugas utamanya
untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak
tanah berlangsung.
Sistem
tanam paksa muncul karena pihak pemerintah Hindia-Belanda mengalami keadaan
parah di bidang keuangan, dan juga budget pemeerintahan Hindia-Belanda dibebabi
hutang-hutang yang besar. Belanda merasa tidak mampu menangtebungi masalah ini
sendiri, sehingga muncul pikiran untuk mencari pemecahan di koloni-koloninya.
Salah satunya Indonesia. Atas dasar itu maka sistem tanam paksa diperkenalkan
oleh Van den Bocsh.
Dasarnya
sistem tanam paksa, selama zaman Belanda terkenal dengan nama culturstelsel,
berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang
pernah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Culturstelsel menganut paham konservatif
yaitu dalam pelaksanaannya menggunakan tatanan feodal (menggunakan bantuan
orang-orang lokal). Di mana desa menjadi mata rantai antara petani dan
pejabat-pejabat bangsa Indonesia, yaitu bupati atau regent (sebutan dari
orang-orang Belanda). Bupati bertanggung jawab kepada pemerintah bangsa Eropa.
Paham konservatif digunakan untuk menggantikan paham liberalisme yang dipandang
tidak sesuai dengan struktur sosial yang sangat feodal di Jawa dengan segala
ikatan-ikatan tradisionalnya. Pemerintah tidak sanggup menembusnya langsung
berhubungan dengan rakyat secara perseorangan dan bebas.
Pada
tahun 1892 Johannes van den Bosch (1780-1844) menyampaikan kepada raja Belanda
usulan-usulan yang kelak akan dikenal dengan sebutan cultuurstelsel (sistem
penanaman). Raja menyetujui usulan-usulan tersebut dan pada januari 1830 van
den Bosch tiba di Jawa sebagai Gubernur Jenderal yang baru (1830-1833).
Pemikiran
van den Bosch mengenai sistem penanaman tersebut tidak pernah dirumuskan secara
jelas, tetapi nampaknya sistem itu didasarkan pada suatu prinsip umum yang
sederhana. Desa-desa Jawa menghutang pajak tanah kepada pemerintah, yang
biasanya diperhitungkan sebesar 40 persen dari hasil panen utama desa itu
(biasanya beras). Dalam kenyataannya taksiran yang sesungguhnya adalah dibawah
angka ini dan pemungutan pajak tersebut seringkali sulit dilaksanakan karena
tidak cukup tersediannya sumber-sumber daya administrasi dan adanya kekurangan
mata uang. Rencana van den Bosch adalah bahwa setiap desa harus menyisihkan
sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor (khusunya tebu, kopi dan nila)
untuk dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah pasti. Dengan
demikian desa akan mampu melunasi pajak tanahnya, dan van den Bosch
memperkirakan hasil panen dari 20 persen (kelak 33 persen) bumi desa tersebut
akan cukup memadai untuk tujuan ini. Apabila pendapatan desa dari penjualan
hasil panennya kepada pemerintah lebih banyak daripada pajak tanah yang harus
dibayarnya, maka desa itu akan menerima kelebihannya. Apabila kurang maka desa
tersebut masih tetap harus membayar kekurangnnya dari sumber-sumber lain.
Pernyataan-pernyataan van den Bosch pada 1833 mengenai kaitan antara pajak
tanah dengan pembayaran-pembayaran pemerintah untuk hasil bumi kurang jelas,
dan dia malahan membicarakan tentang produksi komoditas ekspor sebagai sesuatu
yang lebih menguntungkan bagi desa daripada menanam padi. Bagaimanapun juga
prinsipnya jelas yaitu bagi desa harus ada nilai tukar antara pajak tanah yang
didasarkan atas komoditas beras dan komoditi ekspor kepada pemerintah.
Dalam
teori setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini. Desa masih
memiliki tanah yang cukup luas untuk kegunaannya sendiri dan akan mendapatkan
penghasilan dalam bentuk tunai. Sebagai pengganti pendapatan yang tidak jelas
dari pajak tanah, maka pemerintah akan mendapatkan komoditi daerah tropis yang
sangat murah harganya sehingga menurut perkiraan van den Bosch masih dapat
bersaing dengan gula Hindia-Belanda yang didirikan pada tahun 1824-1825 atas
prakarsa raja Belanda. Hal ini akan memathkan dominasi pelayaran
Inggris-Amerika di kawasan Malaya-Indonesia, dan akan memberikan penghasilan
angkutan kepada negeri Belanda.
Masyarakat
menengah ke bawah khususnya pribumi sangat dirugikan dengan sistem tanam paksa
ini. Mereka dijadikan sebagai media sapi perah untuk mendatangkan keuntungan
kepada Belanda sebanyak mungkin. Kalau dalam prinsip ekonomi berbunyi “modal
sekecil-kecilnya dan mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya”, itulah
yang Belanda terapkan dalam sistem tanam paksa ini. Belanda menginginkan untuk
mendapatkan keuntungan yang besar dari sistem tanam paksa ini. Apalagi pada
saat itu Belanda sedang membangun dalam negeri untuk memperbaiki infrastruktur
negeri Belanda dan sumber dananya salah satunya adalah dari keuntungan tanam
paksa ini. Namun Belanda tidak memperhatikan pekerja-pekerja yang dipekerjakan
atau pun disewa tanahnya untuk tanam paksa ini. Pekerja atau buruh tidak
diperlakukan semestinya sebagai pekerja, sedangkan sewa tanah sangat murah dan
merugikan pihak pribumi. Memang inilah yang diharapkan oleh Belanda agar modal
mereka tetap kecil namun keuntungannya dapat besar.
Dalam
kenyataannya tidak sistem sama sekali. Dalam pelaksanaan rencana-rencana van
den Bosch di Jawa tersebut terdapat banyak variasi antara daerah yang satu
dengan daerah yang lainnya. Konsepnya tentang akan diperolehnya keuntungan oleh
semua pihak berubah menjadi salah satu diantara kisah-kisah pemerasan yang
lebih besar di dalam sejarah penjajahan. Para pejabat lokal baik yang
berkebangsaan Belanda maupun Indonesia, menetapkan taksiran besarnya pajak
tanah dan banyaknya komoditi ekspor bagi setiap desa, kemudian memaksa desa
untuk mewujudkannya. Dengan semakin meningkatnya pembayaran untuk hasil-hasil
bumi, maka para pejabat memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk menaikkan
taksiran pajak tanah, sehingga sebagian besar kelebihan pembayaran komoditi tersebut
kembali kepada pemerintah. Sebenarnya tanam paksa ini sama dengan penyerahan
wajib komoditi ekspor kepada pemerintah, dan sangat mirip dengan penyerahan
wajib yang telah dijalankan VOC terhadap kopi di Priangan pada abad ke-18.
Memang
seperti sebelum kedatangan van den Bosch kopi merupakan komoditi yang selalu
sangat menguntungkan. Komoditi ini juga merupakan jenis komoditi terakhir yang
dihapuskan ketika sistem tanam paksa berakhir. Di kabupaten-kabupaten Priangan
sewa tanah tidak dijalankan serupa dengan bagian lain pulau Jawa. Kenyataan
bahwa Van Den Bosch sering melandaskan perhitungan dan perbandingan dengan
keadaan di Priangan justru hanya memperbesar ke kacauan pelaksanaan sistemnya.
sistem sewa tanah mempengaruhi perkembangan social ekonomi dalam beberapa hal.
Pertama, karena semua sumbangan wajib, kecuali kopi di Priangan, telah
dihapuskan, hasil tanaman perdagangan, yang tidak popular untuk pasar luar
negeri menurun. Kedua, kedudukan para bupati, yang kini dilucuti kekuasaannya
untuk mengumpulkan jatah beras dan memeras jasa kuli, memburuk. Seluruh Strata
pejabat pribumi rendahan yang telah dipekerjakan oleh para bupati sebagai
penyewa/bekel mewakili kabupaten mereka, yaitu mereka yang disebut kepala
perantara, dipecat. Ketiga, kedudukan kepala desa, yang sampai pada waktu itu
hanyalah primus inter pares dari penduduk desa yang punya tanah, dinaikkan
cukup tinggi. Dari tahun 1813 dan seterusnya, kepala desa adalah pejabat
pemerintah yang bertanggung jawab atas semua pajak dan jasa, dan atas pembagian
tanah-tanah desa. Keempat, pemilikan tanah pribadi secara turun temurun dalam
banyka hal diubah menjadi milik bersama, yang setiap tahun dibagi bagi, dan
sering dengan jatah yang sama.Kelima, Masuknya sistem baru ini didasarkan pada
survey ekstensif atas tanah dan penduduk dan selnjutnya semua residen
memberikan suatu laporan umum setiap tahun, berisi data penduduk dan pertanian.
Sistem
tanam paksa yang sudah ada di Parahyangan, yaitu sistem tanam paksa kopi. Kopi
yang ditanam di Parahyangan berasal dari India Selatan dan bawa oleh pemerintah
kolonial ke Batavia dan disebarkan ke daerah Parahyangan. Inilah yang
menyebabkan lahirnya sistem tanam paksa kopi di Parahyangan.
-
Pelaksanaan,
Proses Produksi Dan Pendistribusian Kopi
Dalam pelaksanaanya kebun-kebun kopi
dibuat diatas tanah-tanah liar dengan mempergunakan pekerja-pekerja wajib namun
dalam kenyataannya tanaman kopi tidak hanya ditanam pada tanah-tanah liar saja,
namun akibat dari pemerintah Belanda yang barambisi ingin menambah hasil
produksi tanaman kopi, akhirnya penduduk yang memiliki lahan pun diwajibkan
untuk menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami kopi. Dan bagi penduduk
yang tidak memiliki lahan diwajibkan untuk bekerja pada lahan kopi tersebut.
Dalam pelaksanaan tanam paksa kopi di parahyangan menurut Profesor Jan Breman,
Guru Besar Emiritus pada Universiteit Van Amsterdam, menyatakan sistem tanam
paksa kopi di Parahyangan dipimpin oleh para bangsawan setempat yaitu para
Menak dan Sentana, yaitu adalah bangsawan Sunda yang lebih rendah.
Akibat dikerahkannya bangsawan lokal
tersebut beban petani sunda pun semakin berat, dikarenakan selain harus
menyerahkan hasil tanaman kopi pada pemerintah Belanda petani pun harus
menyerahkan hasil panen padi mereka pada bangsawan setempat. Itu merupakan
semacam gaji bagi para Menak dan Sentana. Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa
kopi ini banyak penyimpangan-penyimpangan diantaranya; tanah petani yang
dijadikan lahan penanaman kopi melebihi seperlima, tanah yang seharusnya dijadikan
lahan penanaman kopi bebas pajak namun tetap dikenakan pajak, para pekerja yang
seharusnya bekerja tidak melebihi masa tanam padi namun melibihi sehingga
sangat membebani petani, kegagalan panen yang seharusnya ditanggung pemerintah
namun ditanggung oleh rakyat, kelebihan hasil pertanian yang seharusnya
diperuntukan untuk rakyat namun diambil oleh pemerintah.
Di tambah pula pada waktu petani
Sunda hanya boleh berada di dua tempat yaitu desanya atau kebun kopi. Hukuman
yang berlaku pun sangat keras bagi pekerja yang malas akan mendapat hukuman
cambuk rotan atau pengasingan ke daerah lain. Dan disini penduduk semakin
terjepit mereka hanya dijadikan budak dan ditindas oleh pemerintah Belanda.
Dalam proses pendistribusiannya kopi dari hasil tanam paksa yang dilakukan di
Parahyangan dari berbagai sumber yang saya dapatkan yaitu mula-mula hasil panen
dikumpulkan oleh para petani, lalu dibawan kepara para bangsawan setempat atau
para Menak dan Sentana, lalu dari para bangsawan tersebut di berikan pada pemerintah
kolonial untuk dikumpulkan di gudang dan selanjutnya di bawa ke Batavia untuk
di kirim ke Amsterdam yaitu disana ada semacan perusahaan yang mengurus lelang
produk-produk tanam paksa seperti kopi dan nila dan lalu kopi dijual ke benua
Amerika atau kenegara lain di Eropa.
B. Penerapan culturstelsel
Sistem tanam paksa dipegang dan
dikendalikan NHM (nedherlansche handel maatsc happij), yaitu badan yang
merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Perusahaan ini didirikan oleh
Raja Willem I di Belanda dengan Surat Keputusan Raja Tanggal 29 Maret
1824 Nomor 163. Pada tahun berikutnya, NHM membuka perwakilannya
di Batavia, yang dikenal dengan nama Factorij Nederlandsehe Handel
Maatsehappij yang sering disebut dengan Factorij atau Kompeni Kecil.
Sejak itu, bertahan di Batavia serta meluaskan ruang operasionalnya ke
wilayah Nusantara lainnya maupun di luar negeri, dan mampu bertahan
sampai terjadinya nasionalisasi perusahaan Belanda di tahun
1960an. Perusahaan yang disebut juga Factorie ini pada tahun 1960 dinasionalisasi
oleh pemerintah RI bersama 18 cabangnya di Indonesia. Setelah itu,
perusahaan itu menjelma menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII)
yang beroperasi di seluruh wilayah Indonesia sampai saat ini. Berkantor
pusat di Jakarta, tepatnya terletak di Noordwijk Weltevreden (sekarang
Jl. Kantor Pos) dan dibangun pada tahun 1910-1911. Nederlandsche
Handel Maatschappij (NHM) perencana pembangunannya
dilakukan oleh Ed. Cuypers & Hulswit, sebuah biro perencana yang
merupakan kolaborasi dari dua orang arsitek. Bangunan dua lantai
ini dapat dilihat sistem tata letak bangunan di Pusat Kota Jakarta,
sangat mirip dengan Kota Amsterdam, berderet dan berdempet,
menjorok ke dalam dan menghadap ke sebuah kanaal.
Menurut
Van den Bosch, paham konservatif secara langsung akan membentuk hubungan
langsung antara pemerintah dan desa dengan melampaui peranan bupati sehingga
perantara seperti hal yang berlaku pada masa VOC. Bupati hanya khusus mengawasi
dan menjamin produksi atau disebut mandor. Sedangkan kepala desa bertanggung
jawab untuk memenuhi target produksi. Bupati dan kepala desa dibayar dengan
perhitungan persentase terhadap penyerahan-penyerahan komoditi pertanian, yang
disebut kultur procenten (prosenan tanaman) yaitu jumlah sebesar prosenan
tertentu dari harga hasil tanam paksa yang terkumpul di wilayahnya
Salah
satu akibat yang penting dari sistem tanam paksa adalah meluasnya bentuk milik
tanah bersama ( milik komunal ). Hal ini disebabkan karena para pegawai
pemerintah kolonial cenderung untuk memperlakukan desa dengan semua tenaga
kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai
satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka daam menetapkan tugas
penanaman-penanaman paksa yang dibebankan pada tiap desa. Jika para pegawai pemerintah
kolonial misalnya harus melakukan persetujuan-persetujuan yang terpisah dengan
tiap-tiap petani yang memiliki tanah untuk memperoleh seperlima dari tiap-tiap
bidang tanah mereka, maka hal ini sangat mempersulit pekerjaan mereka. Jauh
lebih mudah untuk menetapkan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa
sebagai satu keseluruhan.
Dibanding
dengan penyerahan wajib ( contingenteringen ) yang dipaksakan VOC kepada
penduduk, maka sistem tanam paksa menaruh beban yang lebih berat di atas pundak
rakyat. Jika selama jaman VOC pelaksanaan penyerahan wajib diserahkan kepada
kepala rakyat sendiri, maka selama sistem tanam paksa para pegawai Eropa dari
pemerintah kolonoial langsung melaksanakan dan mengawasi penanaman paksa
tersebut.
Hal
ini sering berarti peningkatan efisiensi dari sistem tanam paksa, dalam arti
kata bahwa hasil produksi tanaman dagangan dapat ditingkatkan berkat pengawasan
dan campur tangan langsung dari pegawai Belanda tersebut. Di lain pihak
peningkatan efisiensi ini tentu berarti menambah beban yang harus dipikul
rakyat.
Untuk
menjamin bahwa pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa menunaikan
tugas mereka dengan baik, maka pemerintah kolonial memberikan perangsang
finansial kepada mereka yang terkenal dengan nama cultuurprocenten, yang
diberikan kepada mereka di samping
pendapatan mereka. Cultuurprocenten ini merupakan presentasi tertentu
dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman-tanaman ekspor tersebut
yang diserahkan kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala-kepala desa
jika mereka berhasil dalam mencapai atau melampaui target produksi yang
dibebankan tiap-tiap desa.
Cara-cara
ini tentu menimbulkan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan merugikan
rakyat, karena pegawai-pegawai Belanda, maupun para bupati dan kepala-kepala
desa mempunyai kepentingan mereka masing-masing. Akibat ketentuan ini para
pegawai cenderung menjadi pegawai-pegawai yang buruk, karena tidak lagi
menghiraukan rasa keadilan, mematikan rasa peri kemanusiaan, menempatkan kepentingan
pribadi di atas kepentingan rakyat dan tidak mengindahkan lagi kepentingan
penduduk demi mementingkan kepentingan sendiri.
Tanam
paksa bukan hanya menguntungkan Belanda dan menyengsarakan pribumi, namun ada
satu hal yang juga tumbuh selama tanam paksa berlangsung, yaitu
kesewenang-wenangan pejabat lokal. Semasa tanam paksa tugas pejabat lokal
seperti bupati adalah untuk menarik hasil bumi untuk dikirim kepada Belanda di
pelabuhan masing-masing daerah. Sedangkan untuk tingkat lebih kecil lagi yaitu
desa tugas tersebut dibebankan kepada lurah setempat dan seorang kontrolir.
Lurah diwajibkan untuk membuat semacam laporan tentang hasil penanaman dan
dibukukan untuk diserahkan kepada bupati yang kemudian oleh bupati diserahkan
kepada kontrolir tingkat residen. Sedangkan tugas kontrolir di pedesaan adalah
untuk mengawasi langsung penanaman, apakah penanaman sesuai dengan keinginan
pihak Belanda. Dan apabila terjadi kesalahan atau masalah di tingkat desa
kontrolir lah yang menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikannya. Maka tugas
kontrolir tidaklah mudah dan berat. Oleh karena itu tidak jarang kontrolir
bertindak sangat kasar agar tidak sampai terjadi kesalahan dalam penanaman di
desa agar namanya tetap aman. Jika kontrolir tersebut aman maka jabatannya juga
dapat naik ke tingkat kontrolir residen dan dapat lebih banyak gaji yang
didapat. Biasanya kontrolir berdarah Belanda atau pun Indo, karena pribumi
masih jarang yang dapat baca tulis, kalau pun ada, pribumi dianggap tidak layak
untuk mendapatkan kedudukan sebagai kontrolir.
Struktur
administrasi tanam paksa sesuai dengan kebijakan Belanda yang baru setelah
tahun 1830. Percobaan-percobaan terdahulu dalam menghubungi langsung para
petani ditinggalkan, dan desa menjadi unit dasar pemerintahan. Kepala desa
merupakan mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia lain
yang lebih tinggi tingkatannya, yang mencapai puncaknya pada bupati (yang
disebut regent oleh orang-orang Belanda), yaitu seorang bangsawan yang
mengepalai kabupaten. Bupati bertanggung jawab kepada oemerintahan bangsa
Eropa, tetapi para pejabat bangsa Eropa juga terlibat pada tingkatan-tingkatan
yang lebih rendah. Tujuan-tujuan terdahulu untuk memasukkan suatu perekonomian
uang juga ditinggalkan, meskipun pembayaran-pembayaran terhadap hasil panen
pada dasarnya memperbanyak jumlah uang yang beredar dan mendorong dimulainya
suatu perekonomian uang dan spesialisasi tenaga kerja. Para pejabat baik yang
berbangsa Belanda maupun Indonesia yang disuruh melaksanakan rencana baru
tersebut dibayar dengan perhitungan presentase terhadap penyerahan-penyerahan
komoditi pertanian. Ini merupakan sumber korupsi yang subur dan pendorong bagi
tuntutan-tuntutan yang bersifat memeras terhadap desa-desa. Memang korupsi dan
penyelewengan merajalela. Hasil-hasil bumi ditaksir terlalu kecil, perdagangan
swasta di bidang komoditi pertanian pemerintah semakin meningkat, dan
transaksi-transaksi yang curang berkembang di kalangan pejabat-pejabat pribumi,
orang-orang Belanda, dan para pengusaha Cina. Pemerintaha kolonial di Batavia
tidak pernah mampu untuk memantau dan mengawasi pelaksanaan
perintah-perintahnya, meskipun ada kontrolir namun sama saja ketika kontrolir
bekerja sama dengan lurah dan pejabat-pejabat lain maka pemerintah kolonial di
Batavia pun hanya mengetahui laporan sebatas untuk menyengkan pihak
pemerintahan saja.
Guna
menjamin agar para bupati dan kepala desa menunaikan tugasnya dengan baik,
pemerintah kolonil memberikan perangsang yang disebut CultuurProcenten
disamping penghasilan tetap. Cultuur Procenten adalah bonus dalam prosentase
tertentu yang diberikan kepada para pegawai Belanda, para Bupati, dan kepala
desa apabila hasil produksi di suatu wilayah mencapai atau melampaui target
yang dibebankan. Cara-cara itu menimbulkan banyak penyelewengan, baik dalam
merekrut jumlah tenaga kerja maupun dalam memaksa penduduk untuk menanami tanah
yang luasnya melampaui ketentuan. Dalam hal ini pemerintah kolonial bersikap
tutup mata selama hal itu menguntungkan kas negara, akan tetapi penyelewengan
tersebut membuat rakyat jelata menjadi sengsara.
Penerapan politik tanam paksa disesuaikan dengan adat
pribumi.Maksudnya, kaum bangsawan feudal dikembalikan pada posisi yang
lama.Pengaruh mereka dimanfaatkan untuk menggerakkan rakyat, memperbesarkan
produksi, dan menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diminta oleh pemerintah
kolonial belanda. Bedanya dengan politik konservatif, para bangsawan
ditempatkan di bawah kekuasaan pegawai – pegawai pemerintah kolonial belanda
yang mengawasi mereka secara ketat.
Sistem presentase (komisi) merupakan cara yang paling umum dan dinilai
paling efisien untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari politik tanam paksa.
System ini, dalam praktiknya, menjadi sumber korupsi dan penyelewengan.Inilah
penyimpangan terpenting dari pelaksanaan kebijakan tanam paksa.
Akan tetapi
selama duapuluh tahun pertama dari pelaksanaan sistem Tanam Paksa, yaitu tahun
1830-1850 beban berat yang harus ditanggung oleh rakyat adalah kerja paksa.
Pemerintah kolonial mengerahkan tenaga rakyat untuk pembangunan dan
pemeliharaan fasilitas umum, antara lain jalan raya, jembatan, dan waduk. Di
samping itu, rakyat juga dikerahkan antara lain dalam pembangunan dan
pemeliharaan rumah-rumah pegawai kolonial, mengantar surat dan barang serta
menjaga gudang. Akan tetapi, yang paling berat bagi rakyat adalah pembangunan
dan pemeliharaan benteng-benteng.
Masukan
utama dari sistem ini adalah tenaga kerja Jawa dan Sunda. Tanah garapan yang
dilibatkan hanya sebagian kecil saja. Diluar daerah-daerah untuk tanaman kopi
(yang tumbuh di atas tanah yang tidak dapat ditumbuhi padi) maka untuk seluruh
Jawa hanya dilibatkan 6 persen tanah garapan pada tahun 1840 dan 4 persen pada
tahun 1850. Ada perbedaan yang besar antara daerah yang satu dengan daerah yang
lainnya, tetapi angka-angka resmi yang tertinggi adalah untuk Bagelan dan
Pekalongan,di mana 15 persen dari jumlah penduduk seluruh Jawa terlibat dalam
penanaman komoditi-komoditi pertanian pemerintah pada tahun 1840, dan 46 persen
pada tahun 1850. Dengan memperhatikan laporan yang memperkecil angka, Van Niel
mengira bahwa lebih dari 70 persen keluarga petani selama kurun waktu 1837-51
menghasilkan komoditi-komoditi ekspor, lebih dari separuhnya berkenaan dengan
penanaman kopi. Fasseur yang tidak dikoreksi menunjukkan bahwa di beberapa
daerah jumlah penduduk yang terlibat jauh kurang dari separuhnya; akan tetapi,
pada tahun 1845 adalah 97 persen.
Presentase-presentase
tersebut barangkali menunjukkan suatu eksploatasi yang terus meningkat
dipandang dari segi jumah manusianya, karena selama abad XIX jumlah penduduk
Jawa tetap menunjukkan peningkatan yang telah mulai pada abad XVIII. Terdapat
masalah-masalah yang serius di sekitar angka-angka jumlah penduduk tersebut,
tetapi jumlah penduduk pada tahun 1795 mungkin tercapai sekitar 3 juta jiwa dan
pada tahun 1830 mencapai 7 juta. Pada tahun 1850 jumlah penduduk telah mencapai
9,4 juta, pada tahun 1870 mencapai 16,2 juta, dan pada tahun 1890 mencapai 23,6
juta jiwa. Dengan demikian, telah terjadi peningkatan sebesar kira-kira delapan
kali lipat selama masa satu abad itu. Tersedianya tenaga kerja yang selalu
bertambah inilah yang menopang keberhasilan cultuurstelsel.
Dampak
cultuurstelsel terhadap orang-orang
Jawa dan Sunda di seluruh Jawa sangat beraneka ragam, dan hal ini masih terus
diperdebatkan. Sementara menunggu penelitian lebih lanjut, maka tampak bahwa
perkiraan-perkiraan tertentu memang masuk akal. Bagi kalangan elite bangsawan
diseluruh Jawa zaman ini merupakan suatu masa yang benar-benar menguntungkan.
Kedudukan mereka menjadi lebih aman dan penggantian secara turun-temurun untuk
jabatan-jabatan resmi menjadi norma, terutama setelah dikeluarkannya Ketentuan
Konstitusi (regeringsreglement) tahun
1854, mereka sering kali membuat terkeuntungan yang besar dari pembayaran
presentase atas penyerahan-penyeraharan hasil bumi. Akan tetapi, mereka
tergantung secara langsung pada kekuasaan Belanda untuk kedudukan dan
penghasilan mereka, dan harus melakukan pemaksaan yang ternyata sangat
diperlukan bagi berfungsinya cultuurstelsel.
Mereka semakin sering menjadi sasaran pengawasan dan campur tangan para pejabat
Belanda. Mereka terpisah dari masyarakat mereka sendiri, terbebas dari tekanan
sanksi-sanksi pribumi sebelumnya penyelewengan kekuasaan dan sama sekali tidak
merasa terpanggil untuk melakukan ‘modernisasi’.t Memang itulah tujuan utama
pemerintahan Belanda untuk memanfaatkan prestise ‘tradisional’ kaum bangsawan
supaya mendapatkan admistrasi yang murah. Dengan demikian, maka para bangsawan
yang tunduk pada kekuasaan Belanda tersebut secara perlahan-lahan meninggalkan
kedudukan mereka sebagai pimpinan di dalam masyarakat walaupun prestise mereka
masih tetap kuat dikalangan penduduk desa.
Tampaknya
cultuurstelsel ini hanya memberi
sedikit keuntungan kepada sebagian besar penduduk. Van Niel telah menunjukkan
bahwa dalam kurun waktu 1837-51 banyak terjadi perpindahan penduduk ketika
penduduk desa berusaha mengelakkan beban kerja dan tidak diperolehnya
keuntungan dengan jalan pindah dari kawasan pertanian ke kota-kota, dan
meninggalkan wilayah kedalaman menuju daerah pantai. Akan tetapi, kejadian ini
memberi keuntungan kepada orang-orang yang tetap tinggal dengan pemilikan tanah
yang rata-rata lebih luas dan dengan lebih banyak hewan ternak. Persediaan dan
harga bahan pangan semakin membaik. Akan tetapi, pembagian
keuntungan-keuntungan semacam itu mungkin sangat tidak merata. Pihak yang
semakin makmur dengan adanya cultuurstelsel
termasuk mereka yang memiliki tanah
(atau yang memiliki saham pada tanah-tanah desa). Akan tetapi yang paling
beruntung adalah para pengusaha cina serta pada admistrator dan para pejabat
pribumi yang sebagian besar tidak hanya menerima presentase namun juga memiliki
‘tanah jabatan’( tanah bengkok,
ambtsvelden ) berdasarkan jabatan mereka. Walaupun di beberapa daerah
terdapat petunjuk tentang perluasan pemilikan tanah dalam rangka menyebarkan
beban, namun di daerah-daerah lainnya pemilikan tanah tampaknya telah menjadi
semakin terpusat di tangan golongan elite desa yang kaya. Orang-orang lainnya
hanya mendapat sedikit keuntungan, dan banyak yang mengambil pilihan
tradisional, yaitu melarikan diri untuk mengelakkan beban mereka. Di beberapa
daerah telah timbul penderitaan yang extrem. Para pembela cultuurstelsel semula menunjuk pertambahan penduduk pribumi sebagai
bukti dari kemakmuran. Oleh karena dimulainya pertambahan jumlah penduduk
mendahului dilaksanakan cultuurstelsel, dan semenjak itu
pertambahan terus berlangsung di Jawa (seperti halnya di negara-negara
berkembang lainnya) walaupun rakyat sangat menderita, alasan tersebut tampaknya
hanya dibuat-buat saja.
Akibat
cultuurstelsel bagi pihak Belanda sangat
jelas: segera dicapai keuntungan yang sangat besar dan ajek. Sudah sejak tahun
1831 anggaran belanja kolonial indonesia sudah seimbang, dan sesudah itu hutang-hutang
lama VOC dilunaskan. Uang dalam jumlah yang sangat besar dikirim ke negeri
Belanda; dari tahun 1877 perbendaharaan kerajaan belanda telah menerima 832
juta gulden. Sebelum tahun 1850
kiriman uang tersebut berjumlah sekitar 19 persen dari pendapatan negara
Belanda dan pada tahun1851-60 kira-kira 32 pesen. Pendapatan-pendapatan ini
membuat perekonomian negeri Belanda tetap stabil. Hutang-hutang dilunasi,
pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan, terusan-terusan, dan jalan kereta
api negara dibangun, semuanya dengan keuntungan-keuntungan yang diperas dari
desa-desa di Jawa. Ironisnya dana-dana tersebut juga digunakan untuk membayar
ganti rugi kepada para pemilik budak guna memerdekakan kaum budak Suriname.
Amsterdam sekali lagi menjadi pasar dunia yang penting bagi hasil bumi daerah
tropis, khususnya kopi dan gula. Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak
menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris
yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan
penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Pelaksanaan sistem tanam Paksa
menyebabkan bangsa Indonesia menderita, sehingga muncul reaksi berupa
perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga banyak yang
menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun
melalui parlemen di Negeri Belanda.
Telah
ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan surplus, setidak-tidaknya secara
paksa. Akan tetapi, surplus ini digunakan untuk menopang pemerintahan
penjajahan Belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukkannya di daerah-daerah luar
Jawa, dan perekonomian dalam negeri Belanda. Investasi yang utama adalah tenaga
kerja orang Jawa dan Sunda, sedangkan teknik-teknikan pertanian maupun
administrasinya bersifat tradisional. Pihak Belanda telah berhasil memeras
perekonomian Jawa, sedangkan keuntungan-keuntungan yang berarti yang
dikembalikan hanya kepada sekelompok kecil masyarakat pribumi saja.
Menurut
Van den Bosch, cultuurstelsel didasarkan atas dasar atas hukum adat yang
dinyatakan barang siapa berkuasa disuatu daerah, ia memiliki tanah dan
penduduknya. Sebelum kedatangn Belanda, raja-raja di nusantara yang berkuasa
serta memiliki tanah dan penduduk. Karena raja-raja di nusantara sudah takluk
kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti
raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil
tanahnya kepada Belanda. Pemerintah kolonial memanfaatkan para bupati dan
kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah kepada Belanda.
Rencana
untuk memeras ekonomi Indonesia dilakukan dengan kedok agama dan adapt-istiadat
rakyat, dan hubungan dengan pejabat tradisional seperti seperi raja, bupati,
wedana maupun lurah. Kedudukan para pejabat tradisional digunakan oleh Belanda
untuk memaksa rakyat bekerja sesuai dengan kehendak Belanda. Untuk mengatur
hubungan kerja tersebut, maka dibuat perjanjian tentang pengaturan tenaga dan
tanaman yang dikehendaki oleh Belanda. Setiap pejabat tradisional akan mendapat
persen dari perjanjian tersebut: Rakyat patuh pada mereka, sebab mereka punya
kharisma karena dan adat.
Guna
menjamin agar para bupati dari kepala desa melaksanakan tugasnya dengan baik,
pemerintah colonial memberikan perangsang yang disebut culture procenten
disamping penghasilan tetap. Cultuur
procenten adalah bonus, dalam prosentase tertentu yang diberikan kepada pegawai
Belanda, para bupati, dan kepala desa apabila hasil produksi di suatau wilayah
mencapai atau melampui target yang dibebankan. Cara-cara ini menimbulkan banyak
penyelewengan yang sangat menekan dan dan merugikan rakyat.
Pada
tahun 1830-1850 beban yang harus ditanggung oleh rakyat adalah kerja paksa.
Pemerintah colonial mengerahkan tenaga rakyat untuk pembangunan dan
pemeliharaan fasilitas umum,( Rodi untuk pemerintah Belanda) antar lain jalan
raya, jembatan, dan waduk. Disamping itu, rakyat dikerahkan anta lain dalam
pembangunan dan pemeliharaan rumah-rumah pegawai kolonial, mengatar surat dan
barang, serta menjaga gudang. Rakyat yang tidak memiliki tanah dipekerjakan
pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selam 65 hari setiap tahun. Mereka juga ada
yang mesti bekerja jauh dari desanya, dan mereka pula harus menyediakan
makanannya sendiri sedang waktu untuk mengerjakan sawahnya habis sehingga persediaan
makanan kurang sekali. Buruh yang seharusnya dibayar oleh oleh pemerintah
dijadikan tenaga paksa, seperi di Rembang, Jawa Tengah. Kalaupun mereka dibayar
mereka hanya dibayar sedikit. Sedangkan pajak atas tanah yang diambil mesti di
bayar terus.
Pelaksanaan
Sistem tanam paksa tertuang dalam ketentuan-ketentuan pokok dalam Staatsblad
(Lembaran Negara) tahun 1834, no 22 berbunyi sebagai berikut:
1. Persetujuan-persetujuan
akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya
untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
2. Bagian
dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan in tidak boleh
melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan
yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan
yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian
dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari
pembayaran pajak tanah.
5. Tanaman
dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan
kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang
ditaksir melebihi pajak yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya
harus diserahkan kepada rakyat.
6. Panen
tanaman dagangan yang gaagl harus dibebankan kepada pemerintah,
sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau
ketekunan pihak rakyat.
7. Penduduk
desa mengerjakan tanah – tanah meeka dibawah pengawasan kepala –kepala mereka,
sedangkan pegawai – pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah
pengawasan pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman – tanaman agar
berjalan dengan baik dan tepat waktu.
Menurut
ketentuan-ketentuan diatas memang tidak terlihat pemerintah Belanda menekan
rakyat. Namun di dalam prakteknya pelaksanaan sistem tanam paksa sering sekali
menyimpang jauh dari ketentuan-ketentuan di atas, sehingga rakyat banyak
dirugikan (Kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan 7). Dalam menjalankan tanam
paksa pemerintah Belanda menggunakan ikatan komunal dan ikatan desa untuk
mengorganisir masyarakat. Van den bosch menggunakan pengaruh para bupati
sehingga kekuasaan para bupati menjadi luas selain itu para bupati dan kepala
desa mendapatkan cultuurprocenten disamping pendapatan yang didapat dari
pemerintah, cultuurprocenten ini presentase tertentu dari penghasilan yang
diperoleh dari penjualan tanaman tanaman ekspor yang diserahkan kepada pegawai
Belanda, bupati dan kepala desa jika mereka berhasil mencapai atau melampaui
target produksi yang dibebankan kepada setiap desa. Cara-cara ini tentu saja
menimbulkan banyak penyelewengan yang merugikan rakyat karena pegawai Belanda
maupun para bupati dan kepala desa mempunyai keuntungan sendiri dalam usaha
untuk meningkatkan produksi tanaman dagang untuk ekspor.
Perjanjian
tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya
dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat
lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar
menyerahkan tanah mereka. Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk culturstelsel
adalah seperlima sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima
tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah. Waktu untuk bekerja untuk tanaman
yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan.
Waktu yang ditentukan adalah 66 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya
adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun. Kelebihan hasil tidak dikembalikan
kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak
Belanda dengan harga yang sangat murah. Dengan adanya sistem persen yang
diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa
orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak. Tanaman
pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri.
Kadang-kadang waktu untuk menanam tanamannya sendiri itu tinggal sedikit
sehingga hasilnya kurang maksimal. Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab
para pemilik tanah.
Sistem
tanam paksa ini agaknya menunjukkan keberhasilan dalam perbaikan keuangan,
ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan surplus meskipun dalam paksaan.
Surplus ini hanya digunakan untuk menopang pemerintahan Belanda di Jawa,
upaya-upaya penaklukannya di daerah luar Jawa, dan perekonomian dalam negara
Belanda. Investasi yang utama adalah tenaga kerja orang Jawa dan Sunda,
sedangkan teknik-teknik pertanian maupun administrasinya bersifat tradisional.
Pihak Belanda berhasil memeras perekonomian Jawa, sedangkan
keuntungan-keutungan yang berarti yang dikembalikan hanya kepada sekelompok
kecil masyarakat pribumi.
Rakyat
makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara
cuma-cuma kepada Belanda.Sawah dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban
kerja paksa yang berkepanjangan mengakibatkan penghasilan menurun.Beban rakyat
makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen, membayar
pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.Akibat
bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
Pelaksanaan
sistem tanam Paksa menyebabkan bangsa Indonesia menderita, sehingga muncul
reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga
banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara
perseorangan maupun melalui parlemen di Negeri Belanda.
Salah
satu akibat yang sangat penting dari tanam paksa adalah meluasnya bentuk tanah
milik bersama (komunal). Hal ini dikarenakan para pegawai pemerintah kolonial
cenderuing memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah
pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan
pekerjaan mereka dalam menetapkan tugas penanaman paksa yang dibebankan pada
setiap desa. Jika para pegawai pemerintah Belanda misalnya harus mengadakan
persetujuan yang terpisah dengan setiap petani, memperoleh seperlima bidang
tanah mereka, hal ini akan mempersulit mereka. Maka akan jauh lebih mudah untuk
menetapkan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu
keseluruhan desa.
Bagi Belanda
sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa
telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan
perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam
paksa (batig slot) di Jawa. Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil
ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang
serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem
perbudakan modern.
Untuk
pemerintah colonial, sistem tanam paksa telah membawa keuntungan berupa: 11, 3
juta gulden pada tahun 1830. Kemudian keuntungan tersebut meningkat 66, 1 juta
gulden pada 1831. Menurut Burger, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan (batig
slot) yang diambil dari Jawa sejak 823 juta gulden. Dengan modal sedemikian,
Belanda mempunyai cukup modal untuk membayar lunas semua hutang VOC dan
merombak perekonomian nasional mereka untuk menyalurkan kredit dalam rangka
menumbuhkan pengusaha swasta nasional mereka. Bahkan, pada tahun 1851-1860
Hindia Belanda menyumbang 30 persen dari total pendapatan negeri Belanda.
Dengan
adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang
sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem
kerjasama dan gotong royong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di
pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan Tanam Paksa, penduduk desa diharuskan
menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport,
sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah
kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport
bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut
menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Dampak tanam
paksa bagi masyarakat di pulau jawa sangat beragam.Bagi kalangan elite
bangsawan, masa tanam paksa mer4upakan masa yang cukup menguntungkan. Kedudukan
feudal mereka menjadi lebih aman karena menurut ketentuan jabatan mereka
diwariskan turun temurun.Mereka memperoleh persentase keuntungan yang cukup
besar dari penyerahan wajib tanam paksa yang mereka kelola.Sebenarnya kaum
elite bangsawan pada masa tanam paksa menjadi alat kekuasaan pemerintah
colonial belanda.Sehingga tidak heran, agar mendapatkan persentase keuntungan
yang lebih besar mereka harus melakukan pemaksaan kepada para petani.
Sementara
itu, dampak tanam paksa bagi rakyat kebanyakan dapat dikatakan cukup
menyengsarakan, beratnya melaksanakan kerja wajib tanam paksa dirasakan oleh
sebagian besar petani.Penanaman tebu dan nila mengambil lahan petani, tenaga
kerja, dan air dari penanaman padi sehingga di beberapa daerah sangat merugikan
penduduk setempat.Belum lagi terjadinya wabah kelaparan di beberapa daerah
seperti priangan timur dan grobogan menunjukkan adanya dampak buruk
darikebijakan tanam paksa.
Pada tahun
1840 cultuurstelsel sudah menghadapi
berbagai masalah. Tanda-tanda tentang penderitaan di kalangan orang Jawa dan
Sunda mulai tampak, khususnya di daerah-daerah penanam tebu. Batang tebu ditanam
di tanah garapan tempat ditaman padi, dan waktu yang diperlukan untuk tumbuhnya
tebu dan menuainya, disusul dengan persiapan lahan bagi penanaman padi, telah
mempersulit tercapainya penggiliran yang konstan bagi kedua komoditi tersebut.
Pabrik-pabrik gula juga bersaing dengan pertanian padi untuk jatah air. Timbul
paceklik, dan harga beras menjadi goyang dengan beberapa kenaikan harga yang
tajam pada tahun 1840-an. Pada tahun 1843 timbul kelaparan yang hebat di
Cirebon. Wabah-wabah penyakit berjangkit pada tahun 1846-9, dan kelaparan
meluas di Jawa Tengah sekitar tahun 1850. Sementara itu, pemerintah menetapkan
kenaikan pajak tanah dan pajak-pajak lainnya secara drastis. Kepergian penduduk
dari desa-desa mengakibatkan semakin turunnya hasil pertanian padi.
Krisis-krisis keuangan juga terjadi di perusahaan Dagang Belanda (NHM) maupun
pada anggaran belanja kolonial di Jawa. Perluasan cultuurstelsel sedang mencapai batasnya, dan pada tahun 1845-50
ekspor kopi, gula,dan nilai merosot. Akan tetapi, keuntungan-keuntungan yang
diperoleh dari kopi dan gula segera meningkat lagi setelah tahun 1850, yaitu
ketika harga pasaran dunia untuk komoditi-komoditi tersebut mengalami kenaikan.
Masalah pada tahun 1851-70 perbendaharaan kerajaan Belanda menerima kiriman
uang sejumlah dua kali lipat dari yang telah diterima pada tahun 1831-50. Akan
tetapi, meningkatnya pengeluaran militer secara drastis mengakibatkan defisit
sejak tahun 1858 dalam anggaran keuangan kolonial, yang hanya dapat diperbaiki
dengan keuntungan-keuntungan cultuurstelsel.
Sistem Tanam
Paksa yang dilakukan oleh pihak Belanda memang menuai keuntungan yang melimpah.
Sebagai bukti, jika sebelum tahun 1830 pos anggaran Belanda mengalami defisit
terus-menerus maka pada tahun 1831 defisit dalam anggaran pemerintah Belanda
mengalami suatu surplus sebagai akibat berhasilnya Sistem Tanam Paksa yang
diterapkan oleh Hindia-Belanda. Pemerintah Belanda sangat puas atas berhasilnya
Sistem Tanam Paksa tersebut, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kondisi rakyat
Indonesia ketika Sistem ini diberlakukan, tetapi keadaan mulai berubah ketika
tahun 1850, rakyat Belanda lambat laun memperoleh kabar mengenai keadaan rakyat
Indonesia yang sebenarnya.
Sebenarnya
kalau kita telaah dari ketentuan-ketentuan di atas sama sekali tidak ada unsur
tekanan kepada rakyat, tetapi dalam prakteknya banyak sekali
penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan-ketentuan pokok tadi, sekali lagi
siapa yang dirugikan ? yang jelas rakyatlah yang dirugikan. Dengan
program-program pemerintah kolonial seperti peningkatan produksi tanaman ekspor
dan ini sebagai peningkatan efesiensi dari sistem tanam paksa ini. Di lain
pihak kita tahu ada peningkatan efesiensi untuk menghasilkan barang ekspor
tetapi dilain pihak ada penambahan beban yang harus dipikul rakyat.
Menurut saya
system tanam paksa yang dijalankan oleh pemerintah colonial terhadap rakyat
hanya banya kerugian terhadap rakyat itu sendiri. Ntah apa yang menjadi
keuntungan dari system tanam paksa ini tehadap rakyat. Kalau kita pelajari,
keuntungan dari system tanam paksa ini hanya dnirasakan oleh pemerintah
kolonial dan para pegawainya. Dipihak lain, rakyat hanya menerima banyak
kerugian yang mereka tanggung sendiri. Selain harus menyerahkan tenaga untuk
melaksanakan system tanam paksa ini mereka juga harus membayar pajak tanah juga.
Sebenarnya kalau ada sistem pemungutan pajak dari rakyat seharusnya harus ada
timbal balik kepada rakyat. terhadap pajak yang telah dibayarnya, tetapi malah
sebaliknya rakyat tidak bisa menikmati dari hasil pajak itu. Pemerintah
kolonial dalam melaksanaan tanam paksa ini memanfaatkan organisasi desa untuk
mengawasi rakyat dalam pelaksanaan sistem tanam paksa itu, dan pasti yang
berperan di sini adalah kepala desa yang dibayar oleh pemerintah kolonial.dan
tak pelak lagi yang menjadi sasaran pemerasan adalah rakyat.
Sistem tanam
paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda juga ada sisi positipnya
bagi rakyat itu sendiri,. Kita tidak boleh juga menafikan hal ini, karena
dengan adanya sistem tanam paksa rakyat lebih banyak mengetahui lagi tentang
jenis tanaman-tanaman yang sebelumnya mereka tidak mengetahuinya. Selain itu
juga rakyat mempunyai pengalam baru tentang bagaimana cara mengolah tanaman.
Kalau kita lihat banyaknya perkebunan-perkebunan di masa sekarang ini yang ada
di Indonesia khususnya di pulau jawa itu merupakan peninggalan pemerintah
kolonial Belanda yang sekarang di ambil alih oleh pemirintah Indonesia.
Perkebunan- perkebunan itu berupa perkebunan teh, karet, cacao, tebu, dan hasil
komoditi-komoditi tersebut menjadi komoditi utama negara Indonesia untuk di
ekspor ke negara lain, dan sampai sekarang masih berlanjut Jadi, selain banyak
menimbulkan kerugian, system tanam paksa juga mempunyai sisi yang
menguntungkan. Kita tidak bisa bayangkan bagimana kalau dahulu pemerintah
colonial tidak membuka perkebunan-perkebunan, bisa jadi negara Indonesia
sekarang ini tidak mempunyai warisan perkebunan-perkebunan yang sekarang
menjadi hasil komiditi utama. Selain itu juga, keahlian-keahlian mengolah
tanaman yang diwariskan nenek moyang kita, itu merupakan peninggalan dari
system tanam paksa itu tadi.
Kemunculan
perusahaan perkebunan bukan tanpa sebab ataupun implikasi yang terjadi di
masyarakat. Salah satu yang mendasar ialah berubahnya sistem kekerabatan yang
awalnya berupa sistem feodal dengan sistem modern. Pengertian sistem feodal
disini adalah sistem ekonomi yang dilakukan oleh pribumi secara patron-client.
Sebagai contoh, dalam membangun rumah pada awalnya orang membantu secara
sukarela. Mereka saling bergantian membantu, karena pada awalnya desa itu
dibentuk dari beberapa ikatan kekeluargaan. Ketika muncul Sistem Tanam Paksa
salah satu perubahaannya ialah mengenal sistem upah atau gaji. Jadi setiap
pekerjaan membantu tersebut tidak diganti dengan pekerjaan lagi di lain waktu,
tetapi dibayar melalui upah.
Modal utama
dalam perkebunan ialah tanah, di beberapa daerah tanah tersebut menjadi
permasalahan yang pelik. Masalah yang terjadi misalkan hak-hak pemilikan tanah
di dalam desa serta kesinambungan tradisi dan ikatan sosial diantara penduduk
desa. Memiliki dan menguasai hak tanah secara individual menambah kerusakan
dalam tatanan ketertiban di desa, karena secara ekonomis yang menggarap desa
bukan bagian dari desa tersebut. Jika ada yang melawan atau tidak setuju dengan
pemilikan tanah maka orang tersebut bisa diusir dari desa. Maka yang terjadi
ialah peralihan struktur sosial dan ekonomi desa yang mengubah ikatan desa
menjadi sebuah ikatan sosial dan suatu unit yang produktif.
Selain
perubahan dalam pembentukan modal, ekonomi pedesaan juga menjadi salah satu
permasalahan yang patut diperjelas dalam tulisan ini. Ketika Sistem Tanam Paksa
muncul, terjadi perubahan terhadap hasil panen dan tenaga buruh yang murah
menjadi pengaturan fungsional. Desa-desa dihadapkan menjadi pilihan sebagai
sumber tenaga buruh dan juga hasil pertaniannya yang dapat ditarik. Seperti
yang dijelaskan sebelumnya bahwa terkadang elit desa itu sendiri yang juga
memberatkan masyarakat. Terlihat bagaimana elit atau kepada desa menjadi
pemegang kekuasaan dalam pengawasan lahan, tenaga buruh dan hasil pertanian.
Ketika
perusahaan yang terkait dengan sistem tanam paksa (pabrik nila dan tebu,
perusahaan kopi, teh dan tembakau) dibangun, maka wilayah yang menjadi tujuan
ialah wilayah di daerah pertanian. Dorongan ekonomi yang ditimbulkan dari
pembangunan pabrik ialah permintaan yang besar terhadap tenaga kerja tetap dan
musiman, dan akan bahan bangunan untuk mendirikan pabrik. Akhirnya yang terjadi
ialah terjadi juga perpindahan penduduk dari satu desa ke desa lainnya. Selain
itu muncul pula pasar-pasar di daerah pedesaan dan diversifikasi lapangan
kerja.
Berbicara
mengenai diversifikasi pekerjaan kerap identik dengan industrialisasi.
Industrialisasi bukanlah fenomena baru pada tahun 1830, hanya peristiwa ini
diperkuat dengan masuknya Sistem Tanam Paksa. Namun yang jelas, bahwa Sistem
Tanam Paksa adalah bagian integral dalam cerita sejarah yang lebih panjang yang
melibatkan hubungan Jawa masuk ke dalam suatu sistem ekonomi pasar.
Dampak Tanam
Paksa bagi Indonesia
Pelaksanaan tanam paksa selama
tahun 1830-1870 banyak mengakibatkan dampak yang luar biasa bagi kedua belah
pihak, baik pihak Belanda maupun pihak Indonesia. Dampak tersebut pun juga
tidak selamanya buruk. Ada juga dampak positif yang dihasilkan dari tanam paksa
tersebut.
Dampak negatif sistem tanam paksa
Sebagaimana
dijelaskan dimuka, sistem tanam paksa yang diterapkan itu pada dasarnya adalah
penghidupan kembali sistem eksploitasi dari jaman VOC yang berupa penyerahan
wajib. Dalam perumusannya, sistem tanam paksa merupakan merupakan penyatuan
antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah. Maka, ciri pokok sistem
tanam paksa terletak pada keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk
barang, bukan dalam bentuk uang.
Dalam
prakteknya, pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah sering tidak sesuai
dengan ketentuan yang tertulis. Dapat dikatakan bahwa antara peraturan dan
pelaksanaan sangat berbeda. Contohnya, penyediaan tanah untuk tanaman yang
diminta pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan, karena dilakukan dengan cara
paksaan, bukan dengan persetujuan sukarela.
Secara garis
besar sistem tanam paksa ini telah menimbukan berbagai akibat pada kehidupan
masyarakat pedesaan di Pulau Jawa, yaitu menyangkut tanah dan tenaga kerja.
Sistem tanam paksa telah mencampuri sistem pemilikan tanah di pedesaan, karena
para petani diharuskan untuk menyerahkan tanahnya untuk penanaman tanaman
ekspor. Perubahan ini telah menyebabkan pergeseran sistem penguasaan dan
pemilikan tanah. sistem tanam paksa juga membutuhkan tenaga kerja rakyat secara
besar-besaran untuk penggarapan lahan, penanaman, dan lain-lain. Kerja paksa
ini sangat memberatkan penduduk, selain karena tidak diberi upah, juga karena
tugas pekerjaan yang harus dikerjakan secara fisik cukup berat.
Meluasnya
bentuk milik tanah bersama (komunal) tujuannya mempermudah menetapakan target
yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan. Hal ini
berarti kepastian hukum individu telah lepas. Kepemilikan tanah pada awalnya
adalah milik perorangan. Kita tahu bahwa masyarakat Jawa dalam pembagian
warisan tanah mempunyai sistem untuk pembagiannya sendiri. Pembagian warisan
tanah tersebut diwariskan kepada anak-anak mereka yang diharapkan tanah-tanah
warisan tersebut dapat dilanjutkan pengelolaannya oleh anak-anaknya tersebut.
Namun ketika kebijakan tanam paksa dijalankan di Indonesia, khususnya Jawa,
kepemilikan tanah tersebut yang semula individual menjadi lebih internal lagi
karena kepemilikan tanahnya telah diambil alih oleh pemerintahan
Hindia-Belanda. Alasan-alasan pengambil alihan tersebut telah dijelaskan sejak
awal, yaitu sebagai pengganti pajak tanah.
Meluasnya
kekuasaan bupati dan kepala desa yang digunakan pemerintah Belanda sebagai alat
organisir masyarakat. Menimbulkan banyak penyelewengan salah satunya dari
cultuurprocenten. Belanda tentu akan kesulitan untuk mengontrol pekerja-pekerja
yang bekerja didalam sistem tanam paksa. Maka Belanda kemudian mengajak bupati
dan kepala desa untuk bekerja sama dengan Belanda guna mengawasi
pekerja-pekerja yang bekerja tersebut. Selain itu lurah dan bupati berguna
untuk mengawasi tindakan-tindakan pribumi, karena terkadang pribumi yang merasa
terdesak dan frustasi akan melakukan berbagai cara untuk menyalurkan aspiranya.
Karena aspirasi masyarakat pribumi tersebut sangat dikekang oleh Belanda.
Tanah tanah
pertanian yang harus dijadikan untuk
tanaman dagang sering melebihi seperlima dari seluruh tanah pertanian di desa.
Awalnya kebijakan tanam paksa adalah menyewa tanah dari kalangan pribumi untuk
ditanami sendiri oleh Belanda yang kemudian hasil panen tersebut dijual kepada
Belanda. Kemudian dari hasil penjualan tersebut akan dipotong sesuai dengan
pajak tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah tersebut. Namun penyewaan tanah
tersebut tidak berjalan sesuai dengan peraturan yang telah disepakati di awal
perjanjian. Kenyataannya penyewaan tanah melebihi dari seperlima milik tanah
pribumi. Hal ini ditambah lagi dengan kebijakan Belanda yang mengharuskan
pribumi tersebut untuk bekerja untuk pemerintahan Belanda.
Akibat lain
dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja
paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya
kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa
pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah
pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk
tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara
dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang
dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam
pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala
desa itu sendiri.
Kerja Rodi
memiliki arti kerja tanpa upah, tanpa istirahat demi membangun sebuah benteng
dan jalan raya, tanpa membantah apa yang telah diperintahkan oleh tentara
Belanda, dan menuruti apa yang diperintahkannya. Sebenarnya kita tidak pernah
belajar dari sejarah masa lalu, ketika
kolonialisme Belanda menjejakkan kakinya di Bumi Pertiwi ini. Praktik
perbudakan dan kerja paksa telah
diberlakukan Belanda hampir di seluruh Indonesia selama tiga setengah abad .
Bentuk-bentuk perbudakan itu banyak
dikenal dengan sistem kerja paksa
(rodi), tanam paksa (culture steelsel),
dan landrente (sewa tanah). Belanda menjalankan semua sistem tersebut
sebagai salah satu upaya memperkaya bangsanya dengan cara memeras bangsa
terjajah. Kekejaman perbudakan Belanda tersebut tidak akan terbayar dengan
dilaksanakannya politik balas budi. Meskipun melalui politik etis itu kita
mulai menyadari arti pentingnya kebebasan untuk mendapatkan hak-hak asasi kita
yang selama ini telah dirampas oleh
kaphe-kaphe Belanda.
Rodi pada
zaman penjajahan Belanda dikerjakan laki – laki secara serentak. Ditinjau dari
aspek sejarah perkembangan Indonesia pekerjaan Rodi dan jenisnya adalah sebagai
berikut :
1.
Rodi untuk kepentingan Gubernemen dan para pegawainya.
Dalam bahasa Belanda rodi (disini) yang sebenarnya kerja paksa itu diperindah
istilahnya dengan : Herendienst = Dinas tuan – tuan.
2.
Rodi untuk kepentingan pembesar
3.
Rodi untuk kepentingan desa
Rodi untuk kepentingan
Gubernemen ini dilakukan oleh sejumlah besar kaum laki – laki tanpa menerima
bayaran sesen pun. Demikian pula rodi untuk pembesaranya. Rodi itu sangat
berat, barang kali lebih berat dari perbudakan, sebab jika budak bekerja
sedikit banyak pemilik budak menyediakan makanan, tempat pemondokan, dalam
pekerjaan rodi yang dilakukan sampai berminggu – minggu lamanya semua laki –
laki yang bekerja itu harus mencari / menyediakan sendiri makanannya, mereka
harus mencari tempat sendiri dimana mereka bisa bernaung dimalam hari. Pihak
Gubernemen tahun beres saja pekerjaan selesai. Pekerjaan rodi yang dilakukan
ialah seperti mendirikan jembatan, mendirikan pabrik, mendirikan benteng,
pengangkutan barang dan sebagainya, untuk kepentingan Gubernemen atau
pembesarnya.
Tanam paksa
berjalan terus tanpa diketahui oleh pemerintah pusat, bagaimana pelaksanaannya
? dan apa akibat yang ditimbulkannya. Barulah pada tahun 1843 pemerintah
kolonial di Batavia mengetahui tentang adanya musibah kelaparan di daerah
Cirebon. pada tahun 1840, tanda – tanda penderitaan dari orang – orang sunda
dan jawa mulai tampak, khususnya di daerah penanaman tebu, adanya pergiliran
tanaman antara tebu dan padi mengalami kesulitan, karena tebu telah menyita
banyak waktu dan tenaga para petani, sehingga penanaman padi cenderung tidak
stabil dan diabaikan. Hal ini diperparah oleh adanya pabrik gula yang menyita
jatah air dan tanaman padi penduduk untuk tanaman tebu. Timbul paceklik dan
harga beras naik, kelaparan dan musibah kematian terjadi di mana – mana.
Setelah itu pada kurun waktu 1845 – 1850 ekspor kopi, gula dan nila merosot,
sehingga hanya mendatangkan sedikit keuntungan bagi negeri Belanda. Pada
umumnya tidak tau menau mengenai keadaan penduduk jawa yang menyedihkan. Hal
ini disebabkan oleh adanya usaha pemerintah untuk melanggengkan penerapan
cultuur stelsel di Indonesia. Kurangnya media komunikasi juga menjadi penyabab
kurang taunya masyarakat Belanda tentang keadaan bangsa Indonesia yang
sebenarnya.
Dampak positif tanam paksa
Pelaksanaan
sistem tanam paksa di Indonesia (1830-1870) bagi negeri Belanda telah mampu
menghapuskan utang-utang internasionalnya bahkan menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia
untuk komoditi tropis. Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui betapa
pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia ini telah memberikan keuntungan
yang melimpah bagi negeri Belanda, namun tidak halnya bagi masyarakat
Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, sistem tanam paksa telah menimbulkan
berbagai akibat pada masyarakat pedesaan utamanya berkaitan dengan hak
kepemilikan tanah dan ketenagakerjaan. Meskipun demikian, pelaksaan sistem tanam
paksa sedikit banyak juga telah memberikan nilai-nilai positif bagi masyarakat
di pedesaan.
Dalam tanam
paksa, jenis tanaman wajib yang diperintahkan untuk ditanam adalah kopi, tebu,
dan indigo. Dengan diperkenalkannya tanaman-tanamn ekspor ini maka masyarakat
dapat mengetahui tanaman apa saja yang bernilai jual tinggi di pasaran
internasional. Dengan bertambahnya pengetahuan masyarakat tradisional tentang
tanaman ekspor, maka tentunya etos kerja masyarakat akan mengalami peningkatan.
Sistem tanam
paksa dapat diibaratkan sebagai 1 keping uang logam, disatu sisi pelaksanannya
telah memunculkan satu kerugian bagi masyarakat pedesaan Indonesia, namun
disisi lain sistem tanam paksa juga memberikan dampak positif bagi masyarakat
Indonesia.
Belanda
menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual untuk diekspor
Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti kopi, nila,
lada, tebu. Masyarakat Indonesia awalnya hanyalah mengenal pertanian-pertanian
saja, terutama padi. Ini dapat dimaklumi karena masyarakat Indonesia sejak
berabad-abad yang lalu mengenal pertanian dan menerpakannya untuk kebutuhan
sehari. Bahkan pertanian tersebutlah yang membawa nama Nusantara ke jajaran
internasional. Namun ketika Belanda memperkenalkan kopi, Belanda telah ikut
andil dalam penanaman pengetahuan untuk masyarakat Indonesia terutama dalam
bidang perkebunan.
Diperkenalkannya
mata uang secara besar – besaran samapai lapisan terbawah masyarakat Jawa. Pada
awalnya masyarakat pribumi mengenal uang namun belum terlalu populer karena
masyarakat Indonesia lebih sering menerapkan sistem barter untuk kehidupan
bermasyarakat. Walaupun sistem uang telah diperkenalkan pada jaman kerajaan,
peredarannya pun belum terlalu besar dan hanya untuk kalangan tertentu saja.
Perluasan
jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya bukan untuk menaikan taraf hidup
masyarakat Indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda sendiri,
tetapi hal ini mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan
pergerakan penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
uang. Ketika menerapkan pemaksimalan akses jalan raya juga banyak menimbulkan
kerugian untuk masyarakat Indonesia karena dalam pembangunan jalan raya
tersebut banyak memakan korban, kita dapat melihat contoh tersebut pada
pembuatan jalan raya Anyer-Panarukan. Meskipun pembangunan jalan raya tersebut
banyak memakan korban, namun juga ada dampak positif yang dihasilkan dari
pembangunan jalan raya tersebut. Kita dapat menikmati akses jalan raya tersebut
sekarang sepanjang jalur utara Pantai Utara Jawa atau yang lebih dikenal oleh
masyarakat Indonesia dengan sebutan Pantura.
Berkembangnya
industialisasi di pedesaan juga merupakan sisi positif dari diterapkannya
sistem tanam paksa. Kita dapat menjumpai pabrik-pabrik di berbagai daerah.
Hampir di setiap kabupaten di Jawa pasti ada pabrik gula dan tidak sedikit yang
masih beroperasi hingga sekarang. Ini merupakan dampak peran Belanda terhadap
masyarakat Indonesia.
Periode
tahun 1860-1870 menjadi masa kemenangan bagi Kaum Liberal di parlemen Belanda.
Salah satu tokohnya berhasil menjadi Menteri Koloni, yaitu Van de Putte. Dengan
direbutnya jabatan tersebut dari kaum Konservatif, maka komando atas negara
jajahan berada dalam genggaman kaum Liberal, sehingga keinginan untuk
liberalisasi Hindia Belanda mudah dilaksanakan. Langkah yang diambil oleh Van
de Putte berkaitan dengan liberalisasi Hindia Belanda adalah memberlakukan
Ontewrp Cultuurwet (hukum kultur). Namun usulan ini mendapatkan kecaman dari kaum
Konservatif dan dari partainya sendiri, karena Putte memberikan kepada pemodal
maupun petani hak penuh dan kebebasan atas tanah mereka. Pemberian hak penuh
dan kebebasan terhadap tanah akan merusak pranata-pranata rakya Jawa dengan
banyaknya tanah komunal (tanah yang dimiliki bersama atau tanah adat) beralih
menjadi hak milik pribadi karena keinginan rakyat untuk mendapatkan keuntungan.
Keadaan ini menyebabkan Van de Putte mengundurkan diri dan diganti oleh Meijer
dari partai Konservati.
Namun, kemunduran kaum Liberal dalam parlemen yang ditandai oleh
mundurnya Putte bukan berarti semangat perubahan dan liberalisme berhenti.
Meskipun kontrol negara koloni berada di tangan kaum Konservatif, namun
semangat perbaikan dan perubahan nasib rakyat koloni tetap berjalan.
Tujuan-tujuan kaum Liberal terus maju bahkan dibawah kepemimpinan
musuh-musuhnya (Konservatif).
Penerapan
tanam paksa secara terus menerus di Hindia-Belanda yang dilakukan oleh Belanda
rupanya telah membuka hati sebagian politisi Belanda. Ketika Partai Liberal
Belanda memenangkan pemilu, banyak politisi Liberal yang mengupayakan untuk
menghentikan praktik-praktik tanam paksa. Maka muncullah Undang-Undang Agraria,
Politik Ethis (Politik Balas Budi), dan penghapusan tanam paksa.
Undang-Undang Agraria
Pada tahun
1870, pemerintahan Hindia Belanda memasuki masa ekonomi-liberal, yaitu dengan
disahkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang dikeluarkan Parlemen
Belanda. Tokoh yang mengeluarkan undang-undang ini adalah de Waal, Menteri
Jajahan dan Perniagaan Belanda. Secara umum, Undang- Undang Agraria 1870
bertujuan melindungi hak milik petani atas tanahnya dan penguasaan pemodal
asing, memberi peluang pada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk
Indonesia, dan membuka kesempatan kerja pada penduduk Indonesia, terutama buruh
pekerjaan.
Dalam
Undang-Undang Agraria 1870 secara jelas disebutkan bahwa gubernur jenderal
tidak diperbolehkan menjual tanah pemerintah. Tanah dapat disewakan paling lama
75 tahun. Yang disebutkan sebagai tanah milik pemerintah adalah hutan yang
belum dibuka, tanah yang berada di luar wilayah desa dan penghuninya, dan tanah
milik adat. Sedangkan tanah penduduk adalah semua sawah, ladang, dan sejenisnya
yang dimiliki langsung oleh penduduk.
Tanah
semacam itu dapat disewa oleh pihak asing selama lima tahun. Pengusaha swasta
diperkenanan seluas-luasnya untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kebebasan
dan keamanan para pengusaha dijamin. Hanya orang Indonesialah yang berhak
memiliki tanah, tetapi orang-orang asing diperbolehkan untuk menyewa dari
pemerintah sampai selama tujuh puluh lima tahun. Masa ini dikenal dengan
istilah “Politik Pintu Terbuka” atau “Open Door Policy”.
Jenis
perkebunan yang dibuka misalnya gula, tebu, kopi, tembakau, teh, kina, kopra,
dan sebagainya. Untuk kelancaran produksi tanaman ekspor pemerintah Hindia
Belanda membangun waduk-waduk, saluran irigasi, jalan kereta api dan dermaga
pelabuhan. Untuk pekerjaan ini kembali pemerintah Belanda mengerahkan tenaga
rakyat dengan kerja rodi. Hal ini tentu membawa kesengsaraan bagi rakyat.
Lebih-lebih
setelah tahun 1885 harga-harga komoditas ekspor menurun di pasaran karena
daerahdaerah di Eropa mulai menanam dan memproduksi gula, sama dengan produksi
lainnya mengalami penurunan. Karena itu pada tahun 1885–1900 disebut masa
krisis perkebunan. Kemudian pada akhir abad ke-19 muncullah kritik-kritik yang
tajam terhadap pemerintah Hindia Belanda dan praktik liberalisme yang gagal
memperbaiki nasib kehidupan rakyat jajahan.
Tujuan dikeluarkannya UU Agraria 1870
- Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal asing.
- Memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Indonesia seperti dari Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan lain-lain.
- Membuka kesempatan kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh perkebunan.
Dampak
dikeluarkannya UU Agraria antara lain. Perkebunan diperluas, baik di Jawa
maupun diluar pulau Jawa. Angkutan laut dimonopoli oleh perusahaan KPM yaitu
perusahaan pengangkutan Belanda.
UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik
pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan
para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para
pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar
tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk
memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.
elain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga
mengeluarkan Undang-Undang Gula (Suiker
Wet) tahun 1870. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas
kepada para pengusaha perkebunan gula. Isi dari UU ini yaitu:
1.
Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah akan dihapus secara
bertahap, dan
2. Pada tahun
1891 semua perusahaan
gula milik pemerintah harus sudah diambil alih oleh
swasta.
Politik pintu terbuka yang diharapkan
dapat memperbaiki kesejahteraan
rakyat, justru membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap
sumber-sumber pertanian maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin
menderita dan sengsara. Adanya UU Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan
rakyat, seperti berikut:
1. Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
2. Rakyat menderita dan miskin.
3. Rakyat
mengenal sistem upah
dengan uang,
juga mengenal barang barang
ekspor dan impor.
4. Timbul
pedagang perantara. Pedagang-pedagang
tersebut pergi ke daerah
pedalaman, mengumpulkan hasil
pertanian dan menjualnya kepada grosir.
5. Industri atau usaha pribumi mati karena pekerja-pekerjanya
banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.
Rakyat Indonesia diperkenalkan pada betapa pentingnya
peran lalu lintas uang (modal) dalam kehidupan ekonomi.Tumbuhnya
perkebunan-perkebunan besar meningkat jumlah produksi tanaman ekspor jauh
melebihi jumlah produksi semasa berlakunya sistem tanam paksa. ketika itu,
Indonesia menjadi penghasil kina nomor satu di dunia.Rakyat Indonesia ikut
merasakan manfaat sarana irigasi dan transportasi yg dibangun pemerintah
kolonial untuk perkebunan. Sisi Negatif:
eksploitasi sumber daya dan tenaga rakyat
Pemberlakuan Undang-undang agraria tahun 1870
merupakan bentuk eksploitasi sumber daya
alam Indonesia dengan cara baru. Sama
saja dengan sistem tanam paksa, yg memeras keuntungan dari manfaat SDA
Indonesia adalah pihak asing. Kehidupan rakyat Indonesia dipersulit oleh
membanjirnya barang-barang impor,
sehingga mematikan usah kecil penduduk pribumi karena kalah besaing.
pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah
Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik
pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya
secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial
melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan
menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan
infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan
demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah
jajahan lalu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk
memperoleh uang.
Masuknya politik liberal yang disebabkan oleh
gelombang liberalisme Eropa pada 1840-an, kekuatan liberal Belanda, didukung
pemilik modal dan kelas menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, lalu
mengontrol perekonomian Hindia Belanda. Berkredo "kebebasan usaha,
kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi", kekuatan liberal mendesak
pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh,
dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal
lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan
masyarakat.
Bagi bangsa Indonesia, liberalisme jelas merupakan
ideologi yang dapat mengancam kelangsungan kebangsaan Indonesia karena secara
material, di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial-politik yang tidak sesuai
dan bertentangan dengan sikap politik bangsa Indonesia dalam mewujudkan
cita-cita, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Gerakan globalisasi dengan
ideologi liberalismenya secara material adalah upaya sistematis taktis dari
negara Barat yang diarahkan untuk meruntuhkan kesepakatan politik bangsa
Indonesia dalam memandang hakikat nation state.
Nilai-nilai sosial-politik ideologi
liberalisme yang bersifat ekstrem dan bertentangan dengan ideologi Pancasila
tersebut adalah: Pertama, ideologi liberalisme menawarkan prinsip kebebasan
individual secara mutlak, tidak berpijak pada nilai-nilai moral, kesusilaan,
dan keadilan sosial. Kedua, ideologi liberalisme menghendaki adanya sistem
pengelolaan perekonomian secara bebas dan tidak menghendaki adanya keterlibatan
negara (pemerintah) dalam menciptakan kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat.
Ketiga, ideologi liberalisme menganut sistem nilai demokrasi yang menggunakan
ukuran pembenaran berdasarkan kebutuhan diktator mayoritas, sehingga untuk
mencapainya cukup dengan ukuran 50% ditambah 1 selesai. Namun demokrasi yang
dicita-citakan ideologi Pancasila tidak bisa atau tidak cukup dengan hanya 50%
ditambah 1 tetapi harus melalui musyawarah untuk merumuskan sebuah keputusan
dalam perspektif kepentingan bersama yang berkeadilan.
Walaupun zaman Hindia
Belanda diawali dengan harapan - harapan besar mengenai keunggulan sistem
liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi kolonial sehingga menguntungkan
kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, namun pada akhir abad
ke-19 sudah nyata bahwa rakyat Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat
kemakmuran yang lebih baik daripada masa yang lampau.
Pada waktu penerapan sistem
politik pintu terbuka, tanah milik pemerintah dan milik penduduk yang
dimanfaatkan oleh partikelir membuat perjanjian dengan pihak pemerintah dan
penduduk untuk melakukan kontrak atau sewa tanah. Sewa tanah dilakukan atas
kesepakatan kedua belah pihak.
Bagaimanakah pihak
partikelir memanfaatkan tanah-tanah tersebut? Pihak-pihak partikelir
memanfaaatkan tanah-tanah tersebut untuk dijadikan areal perkebunan-perkebunan
besar yang dapat memberi keuntungan bagi kaum sawasta Belanda. Kekayaan bumi
Indonesia berupa hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalir ke
Belanda. Belanda menjadi pusat perdagangan dari tanah sedangkan bagi rakyat
Indonesia, dengan adanya penanaman modal swasta tersebut justru menimbulkan
kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan penduduk serta ketidakberdayaan.
Politik
Etis (politik Balas Budi)
Semenjak pemerintah kolonial
Belanda memberlakukan sistem Tanam Paksa di Indonesia, banyak menimbulkan
penderitaan bagi rakyat pribumi seperti kemiskinan, kelaparan bahkan kematian.
Selain itu banyak juga penduduk yang meninggalkan tanah kelahirannya hanya
sekedar untuk menghindari diri dari sistem Tanam Paksa yang dijalankan oleh
pemerintah kolonial Belanda.
Berbagai penderitaan pada
saat itu banyak dialami oleh masyarakat Indonesia, misalnya kejadian-kejadian
diberbagai wilayah di Indonesia, seperti di Cirebon pada tahun 1843 banyak
penduduk yang meninggalkan daerahnya dengan tujuan untuk menghindari dari
kekejaman belanda. Di daerah lain juga telah mengalami beberapa kejadian
kelaparan yang sangat memprihatinkan, seperti di daerah Demak dan Grobogan yang
mengakibatkan kematian secara besar-besaran. Sementara itu pada umumnya rakyat
di negeri Belanda banyak yang tidak tahu atas kekejaman di daerah tanah jajahannya
yang diakibatkan oleh Tanam Paksa, sebaliknya Tanam Paksa telah meningkatkan
kemakmuran rakyat di negeri Belanda, sebab banyak mendapat keuntungan yang
sangat melimpah dari penyelenggaraan politik Tanam Paksa, sementara akibat dari
pelaksanaan politik tersebut masyarakat pribumi (Masyarakat Indonesia) menjadi
semakin menderita.
Keadaan seperti ini mulai
berubah setelah tahun 1850, dimana rakyat Belanda memperoleh berita mengenai
kejadian yang sebenarnya di Indonesia yang ditimbulkan oleh Tanam Paksa.
Kesewenang-wenangan dari para pegawai pemerintah kolonial Belanda, kejadian di
daerah Cirebon, Demak, dan Grobogan, lambat laun sampai beritanya di negeri
Belanda, sehingga antara tahun 1850-1860 timbul terjadi perdebatan diantara
para tokoh di negeri Belanda yang peduli terhadap nasib bangsa Indonesia akibat
dari kebijakan Tanam Paksa.
Sekitar pertengahan abad
ke-19 mulai muncul gerakan humanis di Belanda yang dipelopori antara lain oleh
Conrad Theodore van Deventer (1857-1915). Gerakan ini muncul setelah ada
berita-berita tentang perilaku kolonial di Hindia Belanda, tegasnya praktek
penindasan. Gerakan ini menilai bahwa Belanda telah berhutang budi banyak
kepada Hindia Belanda. Belanda telah mengambil banyak dari negeri jajahan,
praktis tanpa memberi apa-apa. Gerakan ini menuntut perubahan bentuk hubungan
yang menguntungkan sefihak tersebut menjadi hubungan yang saling menguntungkan
(symbiosis mutualism).
Adapun yang tergolong kepada
kelompok kaum humaniter lainnya diantaranya seperti : Walter Baron Van Hoevel,
Fransen Van De Futte, juga seorang Perdana Menteri Torbeck tampil ke depan
untuk membela kepentingan bangsa Indonesia. Pada saat itu tokoh yang dianggap
paling berhasil merubah opini rakyat Belanda dengan sebuah karya tulisannya
adalah “Douwes Dekker” dengan nama samarannya “Multatuli”. Yang berhasil
menulis sebuah karya buku yang berjudul “Max Havelaar”.
Politik Etis kolonial
Belanda ini awalnya tatkala dirumuskan menimbulkan sikap pro dan kontra, baik
di kalangan para intelektual, politisi dan rohaniawan (kalangan gereja) di
Belanda. Ada sebagian yang menentang (dalam kadar yang cukup keras) di Parlemen
Belanda, namun di lain pihak ada yang mendukung program ini yang mereka anggap
sebagai sesuatu yang ‘manusiawi’ atau bahkan sebagai ‘kewajiban moral’ terhadap
rakyat Indonesia.
Pada 17 September 1901, Ratu
Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen
Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi
(een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina
menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum
dalam program Trias Politika yang meliputi:
– irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki
pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
– emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigras
– memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).
Banyak pihak menghubungkan
kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van
Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer
kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Terlepas dari masalah pro
dan kontra tersebut, setelah Ratu Wilhelmina mengeluarkan pidato di Staten
General pada tahun 1901, maka mulailah berlaku Politik Etis tersebut di
lapangan secara nyata. Sebelum tahun 1901 politik Belanda semata-mata
mementingkan tuntutan ekonomi, yang karena itu penghisapan kekayaan terhadap
Indonesia sama sekali tidak memperhitungkan rakyat Indonesia. Dengan adanya
pidato Ratu Wilhelmina tersebut dimungkinkan ada keseimbangan antara unsur
menjajah dengan unsur memiliki ‘kewajiban moral’ itu.
Jabaran Politik Etis itu
oleh Van Deventer dikonsepsikan dalam wujud irigasi, edukasi dan emigrasi.
Dukungan yang mula-mula muncul adalah dari kalangan kapitalis dan industrialis
Belanda yang pada hakekatnya berkeinginan untuk memasarkan hasil industrinya
sambil melakukan perbaikan ekonomi rakyat Indonesia.
Kebijakan pertama dan kedua
disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk
perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan
penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya
pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Sebenarnya pendidikan pun tidak
jauh berbeda dengan poin pertama dan kedua. Pelajar-pelajar lulusan sekolah
Belanda akan direkrut kembali oleh Belanda yang kemudian akan dipekerjakan
kembali di sektor-sektor yang Belanda tentukan. Oleh karena itu, selain
pendidikan membuat masyarakat Indonesia semakin baik dan berpikiran terbuka,
pendidikan juga menguntungkan Belanda.
Perbaikan sosial yang nampak
mulai ditanggapi antara lain dalam hal pendidikan. Mengapa ini dilakukan ?
Sebab, masalah pendidikan (edukasi) hampir tidak tergarap dan memang sengaja
tidak digarap sebelum Politik Etis dicetuskan. Hal ini tergambar dalam tulisan
Van Deventer dalam majalah De Gids (1908) sebagai berikut: “Sampai pada
waktu-waktu yang terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan
penyempurnaan akal budi pekeerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan,
kewajiban rodi dan bertanam dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara,
memadailah. Maka senanglah hati pemerintah.
Sesuai dengan semangat
Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda memperbanyak jumlah sekolah. Pengaruh
politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali
dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia
Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini
adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan
Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri
sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata
di daerah-daerah. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah rendah yang dinamakan
Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian
dilanjutkan denmgan program Vervolg School (sekolah Lanjutan) dengan masa
belajar selama 2 tahun. Pemulaan sekolah semacam ini lalu dilanjutkan untuk
tahun-tahun berikutnya, misalnya yang dinamakan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs
(MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP pada zaman
Belanda dan program Algemeene Middelbare School (AMS) yang jenjangnya setingkat
dengan SMA.
Walaupun nampaknya cukup
baik tujuan didirikan bentuk-bentuk persekolahan di atas, namun dalam
prakteknya, sekalipun tidak secara langsung, terdapat kecenderungan
diskriminatif. Kecenderungan itu nampak dalam hal cara menyaring anak sekolah.
Caranya ialah dengan memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal, dan juga
sering diutamakan bagi keluarga yang memiliki keturunan darah biru (darah
ningrat, darah keraton) atau dari kalangan para “priyayi” (pangreh praja atau
pegawai dalam kantor pemerintah Belanda). Oleh karena itu, bagi kalangan
masyarakat bawah, maka hanya dari anggota masyarakat yang mampu atau kaya saja
yang dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang cukup tinggi.
Bagi anggota masyarakat yang kurang berpunya atau miskin terpaksa tidak dapat
memasukkan anak-anaknya ke sekolah, atau paling tidak terpaksa mengambil
alternatif lain, misalnya memasukkan anak-anaknya ke dalam pondok pesantren.
Satu hal yang tidak dapat
dipungkiri adalah bahwa tujuan penyelenggaraan sekolah yang dilakukan Belanda
di atas tidak murni hanya semata-mata untuk memberdayakan pendidikan
masyarakat, melainkan justru untuk menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan
level pendidikannya) untuk dapat direkrut dalam jabatan-jabatan teknis di
pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai contoh, sejak 1864 oleh Belanda telah
diintroduksi sebuah program ujian yang disebut Klein Ambtenaars’ Examen, yaitu
sebuah program ujian pegawai rendah yang harus ditempuh agar seseorang dapat
diangkat sebagai pegawai pemerintah. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa
program untuk menciptakan birokrat rendahan yang cukup menonjol, apalagi
setelah pada tahun 1900 diperkenalkan sekolah Opleiding School voor Inlandsche
Ambtenaren (OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang dipersiapkan untuk menjadi
pegawai pemerintah untuk kalangan pribumi. Dengan demikian terdapat kesan kuat
bahwa kegiatan pendidikan adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda.
Pelaksanaan politik etis
bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial adalah warga
kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di
kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga
pendidikan hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya,
orang-orang campuran tidak dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi
mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang
biayanya sangat mahal.
Ernest Douwes Dekker
termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena meneruskan
pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang harus
ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli
Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang
menetap (blijvers) dan Tionghoa.
Pendidikan dan emansipasi bangsa
Indonesia secara berangsur-angsaur itulah inti Politik Etis. Pendidikan
Indonesia harus di arahkan dari ketidakmatangan yang di paksakan agar berdiri
di atas kaki sendiri. Mereka harus di berikan lebih banyak tanggung jawab dalam
administrasi oleh orang-orang pribumi. Banyak diantara penganut Politik Etis
yakni bahwa Indonesia harus berkembang menjadi kebudayaan Barat. Pada tahap
pertama golongan aristokrasi yang harus terkena pengaruhnya kebudayaan Barat.
Usaha westernisasi penduduk asli kemudian dikenal sebagai asosiasi. Tujuannya
ialah menjembatani Timur dan Barat, orang Indonesia dengan orang Belanda. Yang
di jajah dengan yang menjajah. Bahwa timbul
asimlasi yang bertujuan memberikan tanah jajahan struktur sosial dan
politik yang sama dengan negeri Belanda.
Pengahapusan
tanam paksa
Pengerahan tenaga untuk
mengerjakan tanam paksa tidak jarang melampaui batas-batasnya, seperti rakyat
disuruh pergi meninggalkan desanya untuk dipaksa menanam tanaman indigo di
daerah lain selama berbulan-bulan tanpa jaminan hidup yang jelas. Penanaman
tebu juga membawa beban yang sangat berat bagi rakyat oleh karena menuntut
pengolahan tanah yang intensif, pengairan, pemeliharaan sampai dengan panen
yang memakan banyak waktu dan tenaga. Penyelenggaraannya sukar diatur secara
bersama dengan penanaman padi oleh karena keduanya memakai tanah yang sama.
Sering kali penanaman padi tidak dapat dimulai dengan tepat karena menunggu
sampai tebu ditebang. Selain itu, bagian tanah yang diminta untuk menanami
tanaman wajib yang melebihi dari 1/5 luas tanah telah mengurangi luas lahan
untuk menanam tanaman pangan dan berakibat pada menurunnya hasil panen tanaman
pangan seperti padi dan makanan pokok lainnya. Hal ini meniumbulkan kelangkaan
pangan dan bencana kelaparan terjadi.
Pemerintah menjadi semakin
memahami akibat buruk dari penyimpangan sistem tanam paksa, terutama setelah
terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah, yang banyak membawa korban
kematian dan penderitaan penduduk. Kritik dan gerakan untuk menghapus system
tanam paksa mulai dilancarkan, seperti yang dilakukan oleh Vitalis dan van
Hoevel. Gerakan ini baru berhasil pada tahun 1860, setelah sebagian besar tanam
paksa dihapuskan.Bebarapa tanaman paksa dihapuskan secara bertahap dihapuskan
sesudah tahun 1860, seperti lada pada tahun 1862, nila, teh dan kayu manis pada
tahun 1865, dan tembakau pada tahun 1866.
Golongan yang menentang
tanam paksa di Indonesia sendiri terdiri atas golongan bawah yang merasa iba
mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki
agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari
mereka diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang
terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian
tidak saja dikuasai oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal.
ka kita melihat dampak tanam
paksa yang dijalankan oleh Van den Bosc, maka pihak Belandalah yang mendapatkan
dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini. Sedangkan yang diterima oleh
bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya kesejahteraan hidup.
Undang-Undang Agraria tahun
1870 membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha
dijamin. Hanya orang-orang indonesialah yang dapat memiliki tanah, tetapi
orang-orang asing diperkenankan menyewanya dari pemerintah sampai selama tujuh
puluh lima tahun atau dari para pemilik pribumi untuk masa paling lama antara
lima dan dua puluh tahun ( tergantung pada persyaratan hak pemilikan tanah ).
Perkebunan swasta kini dapat berkembang di Jawa maupun di daerah-daerah luar
jawa. Perkebunan terusan Suez pada tahun 1869 dan perkembangan pelayaran dengan
kapal uap (sebagian besar berada di tangan orang-orang inggris) dari waktu yang
kira-kira sama mendorong lebih lanjut perkembangan swasta dengan semakin
membaiknya sistem perhubungan dengan eropa. Pada tahun 1860 eskpor swasta dan
pemerintahan seluruh indonesia kira-kira sama nilainya, tetapi pada tahun 1885
ekspor swasta mencapai jumlah sepuluh kali lipat dari ekspor pemerintah. Keseluruan
nilai ekspor negara dan swasta pada tahun 1860. Jumlah orang sipil eropa di
Jawa meningkat dengan pesat, yaitu dari 17.285 orang pada tahun 1852 menjadi
62.477 orang pada tahun 1900. Periode ‘liberal’ ini (sekitar 1870-1900)
merupakan jaman ketika semakin hebat eksploitasi terhadap sumber-sumber
pertanian Jawa maupun di daerah-daerah luar Jawa.
Dampak periode ‘liberal’
setelah sekitar tahun 1870 terhadap penduduk pribumi Jawa masih perlu
diselidiki. Bagi masyarakat agraris masa ini barangkali merupakan suatu masa
penderitaan yang semakin berat. Jumlah penduduk semakin bertambah, sehingga
semakin membesar tekanan terhadap sumber-sumber bahan pangan; tanah yang
terbaik sudah digunakan, sehingga tanaman padi hanya dapat diperluas ke
kawasan-kawasan yang kurang subur. Terdapat bukti bahwa konsumsi beras per
kapita di dalam negeri dan kebutuhan akan tekstil katun impor, dua petunjuk
utama tentang kesejahteraan rakyat, agaknya meningkat sekitar tahun 1870-5,
tetapi tampaknya setelah itu merosot dengan cepat. Penanaman padi meluas,
tetapi kalah cepat daripada lajunya pertambahan jumlah penduduk.
Pembebasan petani secara
berangsur-angsur dari penanaman komoditi-komoditi ekspor yang sifatnya paksaan
hanya menimbulkan sedikit perbaikan, karena pajak tanah dan bentuk-bentuk
pembayaran lainnya masih tetap harus diserahkan kepada pemerintah tetapi sumber
penghasilan untuk membayar pajak-pajak tersebut telah dihapuskan. Laporan van
Deventer tahun 1904 memperkirakan bahwa rata-rata keluarga di Jawa harus
membayar kepada pemerintah sebesar 23 persen dari penghasilan tunainya dan 20
persen dari keseluruhan penghasilannya (uang dan barang). Penderitaan tersebut
terutama terasa di daerah-daerah penanaman kopi, karena lahan kopi tidak dapat diubah untuk
menanam koditi-komoditi perdagangan lainnya. Penyakit-penyakit kopi berjangkit
sejak tahun 1878; apa lagi tanpa adanya paksaan terhadap tenaga kerja atau upah
dan dan harga yang menarik,hasil kopi merosot. Untuk dapat membayar pajak-pajak
mereka dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan lainnya, maka para petani harus
berpaling kepada para lintah darat, di
antaranya yang mencolok adalah para haji lokal. Para haji lokal secara hukum
adalah ‘penduduk pribumi’ sehingga dapat memiliki tanah. Oleh karena
petani-petani seringkali tmampu membayar kembali hutang-hutang mereka, maka
tanah-tanah mereka disita oleh para haji tersebut. Ini mengakibatkan semakin
banyaknya oarang yang tidak mempunyai tanah. Orang-orang cina, yang termasuk
golongan ‘orang-orang Timur Asing’, tidak dapat memiliki tanah sehingga harus
bekerja melalui para penghubung pribumi, tetapi mereka mempunyai posisi yang
kuat karena memiliki rumah-rumah gadai dan sekaligus gudang-gudang candu.
Penyewaan Hak menjual candu oleh negara baru dihapuskan pada awal 1904 dan
persewaan pengadaian secara bertahap tidak lama sesudah itu. Akan tetapi, dalam
pandangan van Deventer orang-orang arabah yang merupakan lintah darat yang
paling serakah daripada yang lain.
Elite kerajaan jawa kini
tergeser dari urusan-urusan politik. Pemberontak benar-benar ditinggalkan
sesudah tahun 1830. Memang terjadi beberapa kekacauan di daerah-daerah
kekuasaan kerajaan, tetapi sangat jarang melibatkan para angota keluarga
kerajaan, tetapi sangat jarang melibatkan para anggota keluarga kerajaan. Pada
tahun 1842 lima orang pangeran muda surakarta pergi meninggalkan istana dan
bersuaha meninggalkan kerusuhan, tetapi mereka dapat ditangkap dalam waktu lima
hari. Di Yogyakarta pada tahun 1883 sebuah pemberontakan untuk kepentingan
seorang pangeran yang agak dungu yang bernama pangeran Suryengalaga
direncanakan oleh ibunya. Kejadian ini mencemaskan pihak Belanda dan kalangan
kerajaan Yogyakarta, tetapi akhirnya peristiwa tersebut dapat segera ditumpas.
Suryengalaga maupun ibunya dibuang kepengasingan di manado dalam waktu seminggu
setelah upaya pemberontakan mereka itu. Akan tetapi, nama Suryengalaga masih tetap
disebut-sebut dalam beberapa persekongkolan yang menyusul kemudian. Perasaan
benci terhadap pihak Belanda tampaknya masih tetap berlanjut di beberapa
kalangan istana, tetapi hal ini tidak menyebabkan tindakan perlawanan yang
serius terhadap kekuasaan Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2011
http://ssbelajar.blogspot.com/2012/06/undang-undang-agraria-1870.html
http://indahsekart20.blogspot.com/2012/10/undang-undang-agraria-tahun-1870.html
http://harunarcom.blogspot.com/2014/01/cultuurstelsel-atau-sistemtanam-paksa.html
http://www.scribd.com/doc/46914891/Makalah-Sistem-Sewa-Tanah-Dan-Sistem-Tanam-Paksa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar