Kamis, 18 September 2014

REVIEW BUKU



Review Buku “Dwi Fungsi ABRI” Karya Bilveer Singh
Lembaga kemiliteran merupakan simbol kemerdekaan dan kedaulatan yang paling menonjol. Lebih dari lembaga-lembaga masyarakat lainnya, lembaga kemiliteran diliputi oleh ide nasional. Setiap latihan militer menekankan identitas nasional dan patriotisme. Jadi apabila mereka mengintervensi dengan alasan kepentingan nasional, orang lebih mudah percaya.
Pada beberapa negara berkembang yang belum stabil, memang keterlibatan militer dalam pemerintahan dan pembangunan sulit dihindari. Terutama pada negara-negara yang baru saja merdeka dari penjajahan atau pendudukan negara lain. Misalnya Irak. Beberapa ilmuan memandang bahwa keadaan yang terjadi di Irak merupakan tahapan awal untuk modernisasi dan pembangunan politik diwilayah tersebut.
Kesempatan untuk intervensi datang apabila pemerintah sipil terlalu bergantung pada militer, ataupun ketika negeri dilanda krisis, dan kesempatan militer untuk intervensi dapat juga timbul karena vakumnya kekuasaan. Berkurangnya dukungan masyarakat terhadap pemerintah, dan bertambahnya harapan pada militer, menciptakan kesempatan bagi militer untuk konsolidasi (memperkuat) pengaruhnya dalam kekuasaan negara. 
Dalam kultur politik rendah, Intervensi militer berlangsung secara terang-terangan. Baik penggeseran anggota kabinet sipil maupun penggusuran seluruh kabinet sering dilakukan. Militer secara sengaja tidak melindungi pemerintah sipil terhadap kekerasan. Mereka mengancam tidak mau bekerjasama. Sesekali mereka juga menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. 
Militer Indonesia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan membuatnya melakukan kegiatan keseluruhan, tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Namun setelah kondisi kembali normal, TNI menyerahkan kembali fungsi pemerintahan sipil itu. Semenjak tahun-tahun pertama Republik Indonesia berdiri, para perwira militer Indonesia sebenarnya sudah mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit revolusioner. Kecenderungan ini semakin kuat setelah pada tahun-tahun berikutnya mereka harus mengatasi bukan hanya ancaman dari luar ( Belanda ) tetapi juga mengatasi peristiwa politik yang kritis, yaitu pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948.
Salah satu upaya yang ditempuh untuk membangun demokrasi adalah menjauhkan kekuatan militer dari urusan-urusan politik, mengembalikannya ke barak, dan menjadikannya sebagai alat negara yang profesional. Tetapi, pada kenyataannya, upaya ini bukanlah sesuatu yang mudah. Terutama di negara-negara sedang berkembang, militer menampakkan hasrat yang sangat kuat untuk tetap melakukan intervensi politik. Militer dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Sebab itu, di negara-negara yang telah maju, militer berada di bawah supremasi sipil. 
Sistem politik yang telah mapan, pendapatan per kapita yang tinggi, tingkat industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat yang tinggi telah mengurangi kemungkinan terjadinya intervensi militer. Hal ini bukan berarti bahwa di negara-negara maju tidak ada keikutsertaan militer dalam politik. Militer tetap ikut berpolitik dalam proses pembuatan kebijakan politik, seperti pembuatan kebijakan politik luar negeri dan pertahanan. 
Militer juga ikut dalam mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara maju, seperti aktivitas sosial untuk menanggulangi bencana alam atau bencana lainnya. Namun demikian, kadar keikutsertaan militer dalam politik itu amatlah rendah. Keikutsertaannya dalam bidang-bidang nonmiliter hanyalah menjalankan fungsi bantuan yang bersifat sementara dan dalam kondisi darurat. Jadi, militer sangat diperlukan dalam sebuah negara. Negara kuat jika mempunyai kekuatan militer yang hebat dan bisa diandalkan. Tetapi kekuatan militer ini berada dalam frame work sebagai alat negara yang profesional yang tidak turut campur dalam masalah-masalah politik dan menyerahkan sepenuhnya menjadi otoritas sipil. 
Datangnya era reformasi (1998) merupakan peluang untuk membenahi TNI secara lebih tepat dalam tatanan kehidupan nasional bangsa Indonesia. Untuk itu TNI melakukan reformasi internal sebagai bagian dari reformasi nasional, yaitu dengan melaksanakan tiga komitmen TNI. Pertama prinsip supremasi sipil yaitu TNI hanya bagian sistem demokrasi yang harus dibangun. Kedua prinsip pemberdayaan fungsi-fungsi yang ada yaitu TNI melepas dominasinya dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa, dan terakhir prinsip supremasi hukum.
Sekarang format hubungan sipil-militer berangkat dan dilandasi nilai moral dan sikap mental yang mencerminkan saling menghargai, saling mempercayai dan kehendak yang kuat untuk bekerja sama. Militer menghargai kewenangan sipil, tunduk kepada hukum dan sistem nasional, serta bersikap non partisipan dalam arti tidak memihak salah satu parpol dan tidak melibatkan diri dalam politik praktis. Sebaliknya sipil menghargai tentara nasional sebagai komponen yang sah dalam negara demokrasi; menghargai dan mendukung peran dan misi TNI; memahami masalah pertahanan dan budaya militer; tidak mencampuri operasional dan manajemen internal ketentaraan; dan merasa memiliki tentara nasional.

Walaupun presiden Indonesia saat ini (Susilo Bambang Yudhoyono) seorang mantan militer. Namun beliau tidak menerapkan militerisasi dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu disebabkan karena katika ia berada dalam militer, ia menerapkan militerisme akan tetapi ketika ia menjabat sebagai kepala negara, ia dapat bersifat netral (bersikap profesional). 
Jika reformasi nasional telah menjadikan tiga komitmen TNI tersebut berfungsi dengan baik, tentu tidak perlu muncul kekhawatiran adanya intervensi, apalagi kudeta militer di negeri ini. Hal itu karena komitmen reformasi internal dan netralitas TNI cukup jelas. Sementara, produk perundang-undangan yang ada juga menutup peluang kembalinya TNI dalam politik praktis. Jadi dapat dikatakan bahwa progres reformasi nasional dalam membangun sistem politik, hukum dan demokrasi yang kokoh merupakan benteng utama untuk menepis kekhawatiran dan keraguan bangsa ini. 
Masalah Dwifungsi ABRI agaknya termasuk tema yang tak habis-habisnya  dipersoalkan. Bagi kebanyakan masyarakat, terutama yang mengikuti persepsi kalangan Barat, peran militer hanya sekadar mendukung aspirasi kepemimpinan sipil. Dan, apabila garis politik seperti itu dilanggar atau menyimpang selaku pendukung kepemimpinan sipil, maka peran militer dianggap telah melakukan intervensi. Akibatnya, seperti yang banyak ditemukan dalam tulisan-tulisan dari kaum praktisi barat, konsepsi hubungan sipil-militer sering dipandang secara negatif.
Sebagaimana halnya Pye, Bilveer Singh dalam buku ini menilai pandangan barat yang sering mendiskreditkan pihak Indonesia atas peran ABRI dalam kekuatan sosial politik tidaklah benar. Sejarah telah membuktikan bagaimana kehadiran dan peran serta TNI era Revolusi Fisik berlangsung secara efektif. Terutama dalam mengatasi suasana krisis yang mengancam negeri ini.
Dwifungsi ABRI adalah suatu dokrin di lingkungan Militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. Pernyataan di atas berdasarkan beberapa pidato Soeharto. Soeharto mengatakan bahwa  sejalan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai alat pertahanan dan keamanan, maka ABRI harus dapat dengan tepat melaksanakan peranannya sebagai kekuatan sosial, politik.
Secara umum dapat kita jelaskan bahwa kedudukan militer pada masa orde baru ini sangatlah banyak dalam bidang pemerintahan, tidak hanya dari tingkat tertinggi namun juga sampai ke tingkat yang paling rendah pun masih dipimpin oleh orang-orang yang berasaldari ABRI. Hal ini terjadi karena adanya  kepercayaan dari setiap kalangan bahwa ABRI mampu melaksanakan tugas kenegaraan dan juga sudah pasti mampu melaksanakan tugas mengabdi kepada masyarakat.
Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri.
Dengan meletusnya kudeta Gerakan 30 September PKI, peran serta militer dalam dunia politik semakin mantap. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa ABRI sendiri sebenarnya sejak awal sangat menentang kehadiran PKI yang mereka nilai sebagai ancaman yang sangat potensial terhadap kelangsungan bangsa terkait dengan sifatnya yang Atheis, Non-Nasionalis, Komintern, dan menganut doktrin perjuangan kelas yang saelalu mengadu domba/memecah belah, hal ini tentunya melanggar prinsip persatuan yang diusung oleh Pancasila . Kudeta tersebut merupakan pukulan keras bagi Presiden Soekarno yang mana pada masa sebelumnya telah menunjukkan sikap dukungan dan terkesan melindungi eksistensi PKI sendiri. Kemudian, hal tersebut berlanjut dengan dikeluarkannya “Supersemar” yang menandakan turunnya Soekarno dari jabatan kepresidenan dan digantikan oleh Menteri Panglima Angkatan Darat Soeharto yang notabene memiliki latar belakang militer yang kental, maka tidak heran apabila sepak terjang ABRI dalam sektor politik semakin pesat di era-era berikutnya.
Permasalahan stabilitas merupakan karakteristik mendasar negara-negara dunia ketiga. Berbagai macam kegaduhan dalam system politik seperti demonstrasi hingga kudeta tak henti-hentinya membayangi negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan oleh perubahan yang cukup drastis dalam waktu yang relative singkat di pemerintahan negara-negara itu.Namun demikian, hal ini tidak berlaku bagi negara yang mampu menyelaraskan modernisasi dengan tradisi yang telah terbina di suatu negara.
Di Indonesia sendiri, kita bisa melihat fenomena penyelarasan modernisasi dengan tradisi yang dilakukan oleh penguasa. Presiden Soeharto sebagai pemimpin orde baru menerapkan patrimonialisme yang telah mengakar dalam budaya Jawa untuk menjalankan pemerintahannya. Di negara patrimonial, kekuasaan penguasa tergantung pada kapasitas penguasa untuk memenangkan dan mempertahankan kesetiaan elit politik kunci. Di samping itu, patrimonialisme juga dapat dimaknai sebagai suatu pendekatan yang dilakukan untuk menciptakan sebuah situasi dimana sang pemimpin dapat mengendalikan orang lain dengan menggunakan cara-cara seperti adu domba guna menjunjung tinggi sang penguasa.
Di samping itu, Soeharto ingin memberikan imbal balik bagi kaum militer yang telah berhasil untuk menumpas PKI, nasionalis sayap kiri, dan Soekarnois dengan member mereka posisi yang strategis dalam kalangan elit. Oleh karena itu, Soeharto lebih dipandang sebagai pemimpin yang legal dan rasional yang mengarah kepada neopatrimonialisme, karena caranya untuk melakukan pendekatan ini adalah membangun sistem pemerintahan yang paNepotisme merupakan salah satu istilah yang sering berada diantara dua kata lainnya yaitu korupsi dan kolusi sehingga kerap disebut KKN. Istilah ini lebih banyak muncul setelah reformasi terjadi di Indonesia mengingat saat itulah hak kebebasan berpendapat bisa diperoleh masyarakat Indonesia, terutama pers yang kritis. Sejak itu, pemerintah banyak dituding melakukan tindak KKN yang tentunya merugikan rakyat Indonesia.
Nepotisme sendiri dapat dimaknai sebagi suatu tindakan pelanggaran hukum karena telah memanfaatkan kedudukan yang dimiliki untuk menarik masuk pihak lain yang memiliki hubungan darah atau ikatan kekerabatan lainnya ke sebuah jabatan. Di masa Orde Baru, Soeharto dituding melakukan tindakan KKN, terutama nepotisme karena kabinet maupun pemerintahannya kebanyakan berasal dari keluarga besarnya maupun orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengannya.
ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang terdiri dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan POLRI (Polisi Republik Indonesia) memang dikenal dengan kemampuan manajemen yang sangat baik dan diakui masyarakat Indonesia karena sistem hierarkinya yang sangat kental. Sapta Marga yang merupakan pedoman tatanan hidup yang dipegang oleh TNI pun dengan jelas menyatakan pada pasal kelima bahwa mereka memegang teguh kepatuhan dan ketaatan kepada pimpinan mereka.
Bahkan ABRI yang muncul sejak masa revolusi, sejak awal memang sudah menjalankan fungsi sosial maupun politiknya, disini fungsi yang dijalankan dapat diterima masyarakat. Dwifungsi ABRI dapat diartikan sebagai pengesahan pelaksanaan fungsi sosial politik oleh anggota ABRI. Namun untuk mewujudkan landasan hukum yang tepat dan mantap harus melalui tahapan yang tidak sebentar.
Pada dasarnya, konsep dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia. Keberadaan ABRI sebagai kekuatan social dan politik yang telah melekat sejak kelahirannya, secara nyata memang telah diterima oleh rakyat, karena peranannya memang secara nyata diperlukan bagi kelangsungan sistem kenegaraan dan sistem politik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut ditunjukkan oleh pelbagai peranan ABRI dalam menghadapi situasi-situasi genting, Mulai dari perang mempertahankan kemerdekaan hingga penumpasan G30S/PKI. Dalam menghadapi situasi-situasi genting itu, ABRI telah memainkan peranannya dalam bidang politik. 
Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara mapun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan pancasila dan UUD 1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Sebagai kekuatan social, ABRI adalah suatu unsure dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan social lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.
Satu aspek yang sangat esensial dalam memahami dwifungsi ABRI adalah pemahaman kita mengenai profesionalisme militer (ABRI). Dalam hal ini, terdapat dua aliran profesionalisme militer, yaitu profesionalisme lama dan profesionalisme baru. Profesionalisme lama sendiri berpijak pada keyakinan bahwa militer hanyalah berperan dalam urusan hankam. Di sisi lain, profesionalisme baru menawarkan sebuah pemahaman baru dimana militer tidak hanya berperan dalam bidang hankam, namun juga non-hankam.
Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968. Hal ini dipandang wajar karena pada saat itu sektor militer memiliki kekuatan yang paling besar. Sebenarnya, sejak awal milliter ikut ambil peran dalam mengurusi urusan sipil telah muncul suatu indikasi dimana kekuatan militer Indonesia dianggap akan memgang peran penting dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Indikasi ini muncul sesuai dengan teori Hunnington dan Finner yang mengatakan bahwa penyebab paling penting dari intervensi militer dalam bidang politik adalah sistem kebudayaan politiknya, struktur politik, serta institusinya. Oleh karena itulah, tidak heran jika partisipasi politik dari kekuatan militer Indonesia sangat kental pada masa itu mengingat masih rendahnya level sistem budaya politik pada masa itu serta tidak mampunya membatasi kegiatan militer pada bidang non-politis saja.
Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang d di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial diseluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke dareah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa).
Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri. Lebih jauh, Harold Crouch dalam bukunya “Militer dan Politik di Indonesia” menerangkan bahwa pandangan pihak militer terpecah menjadi dua kelompok, namun keduanya tetap menganut sifat antipartai. Hal ini juga disampaikan oleh A.H. Nasution. Kelompok pertama adalah kelompok berhalauan keras yang ingin mengubah struktur politik dengan sistem dwipartai. Berbeda dengan kelompok tersebut, kelompok kedua adalah kelompok moderat yang cenderung tetap ingin mempertahankan sistem politik saat itu, dan menginginkan perubahan dilaksanakan secara bertahap dan alami.
Perbedaan pandangan ini kemudian dimenangkan oleh kelompok moderat. Alasannya adalah bahwa pembubaran partai dapat menciptakan pandangan bahwa Orda Baru bersifat diktatorisme. Soeharto lebih percaya bahwa perubahan harus dilakukan melalui jalan demokrasi, yaitu melalui pemilu. Pandangan demikian kemudian menimbulkan korelasi antara ABRI dan kemunculan beberapa partai politik sepanjang era Orde Baru.
Pertama yaitu Golkar. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kelahiran Golkar tidak lepas dari peran dan dukungan militer, yang pada saat itu merupakan bentuk reaksi terhadap meningkatnya kampanye PKI. Embrio Golkar awalnya muncul dengan pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Namun setelah kudeta PKI tahun 1965, Sekber Golkar perlahan-lahan berubah menjadi partai politik. Selain itu, seperti kita tahu bersama juga, Presiden Soeharto kemudian menjatuhkan pilihannya pada Golkar. Jadi, peran ABRI bagi Golkar cukup prominen.
Kedua yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Sejalan dengan maksud pemerintahan untuk melakukan penyederhanaan partai-partai politik, maka dilaksanakan fusi-fusi partai politik. Hal ini juga dipicu oleh pendapat Letjen Ali Moertopo pada bulan Mei 1971. Beliau berpendapat bahwa strukturisasi tidak harus dilakukan melalui pembubaran partai politik. Ternyata dorongan fusi ini justru disambut baik oleh golongan Islam. Oleh karena itu, lahirlah PPP pada tanggal 5 Januari 1973 yang ditandatangani oleh NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Ketersediaan partai-partai tersebut tidak lepas dari tekanan pemerintah dan militer.
Ketiga yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PDI juga merupakan partai yang terbentuk pada praktik fusi oleh pemerintah. PDI terfusi atas partai-partai yang cenderung bersifat nasionalis seperti PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan Partai Katolik (yang menolak dikategorikan dalam kategori material-spiritual). Ketiga partai yang terbentuk ini kemudian mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan partai pada Orde Baru (dengan bantuan ABRI atau militer), karena sejak saat itu hingga tahun 1998/1999 hanya PPP, PDI dan Golkar yang mengikuti pemilihan umum.
Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersift simbiosis mutualisme. Contohnya pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer.
Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor Legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisir kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh MPR.
Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu memiliki dampak yang akan dirasakan secara luas, tidak terkecuali Dwifungsi ABRI. Dalam hal ini, kita akan mengetahui bahwa Dwifungsi ABRI tidak hanya menimbulkan dampak negatif sebagaimana yang berkembang di masyarakat selama ini, namun juga dampak positif bagi system politik di Indonesia yang seringkali tidak diekspos pada masyarakat.
Diantara berbagai dampak negatif yang muncul sebagai konsekuensi pelaksanaan Dwifungsi ABRI, berkurangnya jatah kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat. Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: (a). Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, (b). Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu, (c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.
Hal ini pada dasarnya bisa kita pahami sebagai sebuah pelaksanaan pendekatan patrimonialisme yang dilakukan oleh Soeharto dalam menjalankan pemerintahannya. Sebagaimana kita ketahui, pada awal pemerintahannya Soeharto mengalami masa yang cukup sulit. Pemberontakan PKI yang terjadi pada tahun 1965 waktu itu menimbulkan goncangan yang cukup hebat bagi seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan politik di Indonesia mengalami instabilitas yang sangat hebat. Belum lagi inflasi yang cukup tinggi hingga ratusan persen membuat perekonomian Indonesia terpuruk sangat dalam. Dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI, ABRI yang dipimpin oleh Soeharto waktu itu tampil sebagai pihak yang mampu menumpas kebiadaban PKI. Tentu saja ini adalah sebuah prestasi yang layak untuk diganjar dengan penghargaan di mana Soeharto menempatkan banyak Jendral dalam berbagai posisi pemerintahan. Lebih dari itu, dengan menempatkan jendral-jendral dalam posisi strategis di pemerintahan, Soeharto sedang berupaya untuk membentuk pola hubungan yang saling menguntungkan di mana dia ingin menciptakan loyalitas di kalangan elit dalam hal ini ABRI pada dirinya karena dengan posisi strategis tersebut, aspirasi para jendral khususnya di bidang materi bisa tercukupi dengan lebih mudah. Dengan demikian, pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto menjadi lebih stabil. Program-program yang diciptakan untuk memulihkan keadaan negara juga berhasil dilakukan dengan efektif.
Dominasi dwifungsi ABRI dalam hal tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak yang lebih buruk. Dampak tersebut antara lain adalah: (a). Kecenderungan ABRI untuk bertidak represif dan tidak demokratis/otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga masyarakat enggan untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif dan alternatif harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun masyarakat telah mengungkapkan inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI yang menjabat sebagai petinggi di wilayahnya tersebut, (b). Menjadi alat penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan. Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI, sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat, dan (c). Tidak berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak ingin repot-repot melakukan kontrol terhadap bawahannya.
Lebih dari itu, dengan adanya Dwifungsi ABRI, prakter-praktek nepotisme makin tumbuh subur di Indonesia. Tidak jarang keluarga atau rekan terdekat dari anggota ABRI memanfaatkan posisi yang dimiliki untuk kepentingannya masing-masing. Dengan pengaruh yang dimilikinya mengingat jabatannya baik di bidang militer maupun politik, anggota ABRI ini berusaha untuk meperluas usaha istrinya, saudaranya, bahkan sepupunya.
Namun demikian, Dwifungsi ABRI juga menunjukkan dampak positif sebagai mana ditunjukkan oleh berkecimpungnya ABRI dalam bidang ekonomi. Keikutsertaan militer dalam ekonomi telah menjadi usaha yang mapan dari pimpinan tentara untuk mencari tambahan bagi alokasi anggaran dan menguatkan kebebasan mereka dari pemerintah melalui pembiayaan yang mereka dapatkan dari usaha yang disponsori militer dan menyedot dana dari BUMN yang dipimpin oleh kaum militer. Otomatis kegiatan-kegiatan yang ABRI pada waktu itu memiliki sumber dana yang tidak terbatas dari anggaran pemerintah.
Lebih dari itu, dampak positif dari adanya dwifungsi ABRI itu sendiri lebih banyak dirasakan oleh kalangan internal ABRI khususnya dalam bidang materi. Dengan adanya dwifungsi ABRI, banyak dari anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan, bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan di bidang pemerintahan. Hal ini mengakibatkan para Jendral ABRI memiliki kesejahteraan yang terhitung tinggi karena kiprahnya dalam posis-posisi strategis itu.
Di sisi lain, banyaknya anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan, bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan di bidang pemerintahan berimplikasi pada banyaknya dari masyarakat yang ingin menjadi anggota ABRI. Hal ini merupakan sesuatu yang positif karena dengan banyaknya orang yang ingin menjadi anggota ABRI maka seleksi bagi orang-orang yang ingin tergabung dalam militer Indonesia lebih kompetitif.
Pada akhirnya, keberhasilan Presiden Soeharto untuk menjalankan berbagai macam program pembangunannya menjadi dampak positif diberlakukannya konsep Dwifungsi ABRI di era orde baru. Dengan adanya Dwifungsi ABRI tidak bisa kita pungkiri kegiatan politik masyarakat khususnya yang tidak sejalan dengan apa yang digariskan oleh pemerintah berada di bawah kekangan. Namun demikian, terjadi sebuah stabilitas politik yang mampu menjadi pendorong bagi keberhasilan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal ini bisa kita lihat dengan kiprah Fraksi ABRI di DPR-RI yang dengan tegas memposisikan dirinya sebagai partai pendukung pemerintah. Jika ditambah dengan suara Golkar, tentu saja setiap kebijakan pemerintah yang dibahas di DPR-RI dapat berjalan dengan mulus tidak seperti apa yang kita lihat pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Kontribusi tentara bagi bangsa dan negara Indonesia sejak zaman kemerdekaan Indonesia tidak dapat terhitung besarnya, mengingat tentara ini merupakan salah satu ujung tombak dari kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pada masa penjajahan dahulu. Seiring berjalannya waktu, didukung oleh pergantian pemerintahan Soekarno menjadi Soeharto dengan ditandai oleh sistem pemerintahan Orde Baru di Indonesia, peran tentara Indonesia yang kemudian disebut dengan ABRI semakin besar. Dahulu, ABRI yang hanya bergerak dibidang keamanan dan pertahanan di Indonesia, namun pada era pemerintahan Soeharto, peranan ABRI merangkap kearah bidang sosial dan politik. Fungsi ganda ABRI ini kerap dikenal dengan konsep Dwifungsi ABRI.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan status Soeharto sebagai seorang pemimpin yang berasal dari golongan tentara memicu banyaknya ABRI yang mulai terjun dalam bidang politik pemerintahan Indonesia. Hal ini juga didukung oleh beberapa statement bahwa element yang dapat mengatasi ancaman pertahanan dan pembangunan nasional adalah dengan menyelaraskan peranan ABRI yang tidak lagi hanya bergerak dibidang hankam tetapi bidang non-hankam. Akibatnya, tak terhitung banyaknya anggota ABRI yang menjadi anggota DPR, DPRD, atau posisi lainnya dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Banyaknya anggota ABRI yang duduk di kursi pemerintahan menuai banyak implikasi positif maupun negatif. Implikasi positif ini cenderung banyak dirasakan oleh para anggota ABRI yang mendominasi kursi pemerintahan di Indonesia pada era Soeharto. Disisi lain, dampak negatif cenderung banyak dirasakan oleh masyarakat Indonesia dimana mereka merasakan sistem pemerintahan Indonesia saat itu berada dalam dominasi ABRI yang memicu banyaknya praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme. Hal ini, jelaslah membawa dampak yang merugikan untuk bangsa Indonesia sebagai komponen yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi kebutuhannya.
upaya yang dilakukan oleh pemerintah orde baru untuk mecegah persaingan antar angkatan dilakukan dengan tiga cara yaitu pendekatan mental, pendekatan doktrin dan pendekatan organisasi. Usaha yang dilakukan pemerintah orde  baru dalam inetgrasi ABRI selain untuk mencegah terjadinya persaingan antar angkatan juga sebagai upaya untuk mengontrol kekuatan ABRI dan juga menjaga kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat dari panglima-panglima yang mengontrol komando ABRI adalah para Jenderal yang setia kepada Soeharto seperti Maraden Pangabean.  Para perwira yang tidak sejalan dengan kebijakan Soeharto akn disingkirkan secara perlahan-lahan yaitu dengan cara memberikan jabatan-jabatan yang kurang strategis.  Para Perwira yang tidak sepaham dengan Soeharto seperti H.R. Dharsono, Kemal Idris dan Sarwo Edhi Wibowo. Dari penjelasan yang singkat ini kita melihat bagaimana upaya pemerintah Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya dengan cara melibatkan militer dalam politik dan memberikan ruang yang sempit bagi golongann sipil. Pemerintah Orde Baru menggunakan militer sebagai kekuatan politiknya juga karena militer akan lebih mudah untuk dikontrol.







1 komentar:

  1. Why do the casino keep winning every time? - Dr MCD
    It's the casino's 부천 출장샵 life. 안양 출장마사지 They're all the excitement. And then, in my opinion, it's a good thing. We do 충청북도 출장샵 everything 고양 출장안마 in our power, 대구광역 출장마사지

    BalasHapus