Kamis, 10 Juli 2014

WONG CILIK BERPOLITIK


Kalau kita mengamati masyarakat di Indonesia saat ini, sebagian besar masyarakat akan berpendapat bahwa politik hanya urusan mereka yang mempunyai pengaruh. Atau singkatnya politik hanya milik mereka yang mempunyai kedudukan kelas yang baik di masyarakat. Untuk masyarakat kelas bawah politik belum terlalu akrab di telinga mereka. Namun bukan berarti mereka anti terhadap yang namanya politik. Apalagi menjelang Pilpres 2014 ini banyak masyarakat kelas menengah ke bawah pun cukup ikut berperan di dalam politik walaupun hanya sekedar obrolan ringan di sela-sela aktivitas mereka. Kalau kita mau mengamati di sekitar kita, kita akan menemukan bahan obrolan yang identik dengan politik tersebut di kalangan pekerja yang singgah di warung. Bahkan tukang becak pun tidak mau kalah dengan obrolan-obrolan seperti itu. Hal ini maklum saja karena sebentar lagi masyarakat Indonesia akan berpesta demokrasi pada 9 Juli nanti.
Namun hal senada tidak terjadi di kalangan generasi muda kita, terutama yang duduk di bangku kuliah. Saya sangat menyayangkan perilaku teman-teman mahasiswa yang cenderung menjauhi politik, walaupun tidak semuanya seperti itu. Namun sebagian besar dari mereka ketika berkumpul untuk sekedar bersantai maka yang diobrolkan bukanlah masalah-masalah bangsa ini. Memang mereka biasanya mengobrol masalah perkuliahan dan hal itu adalah suatu hal yang cukup positif. Namun bukankah bangsa ini juga harus mendapatkan perhatian terutama dari tokoh-tokoh muda kita yang katanya duduk di perkuliahan dan siap untuk merubah negara ini? Kita tidak dapat memungkiri bahwa ketika lengsernya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 pemeran utamanya adalah para mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa peran pemuda dalam perubahan bangsa sangatlah besar.
Namun tidak semua masyarakat saat ini tidak melek politik. Di beberapa acara bahkan banyak terdapat sisipan-sisipan pesan politik. Terlepas itu kampanye atau bukan sebenarnya hal itu cukup positif. Sebab semakin banyak acara-acara masyarakat namun disisipi pesan politik maka masyarakatnya akan semakin sadar betapa pentingnya politik di dalam bernegara. Kita dapat melihat hal-hal tersebut dalam acara Pengajian yang dilakukan oleh Emha Ainun Najib. Melalui Kiai Kanjengnya (kelompok musik), Emha sering menyisipkan atau menggubah lagu-lagu menjadi semakin berisi politik. Tidak itu saja, beliau ketika memberikan ceramah selain memberikan tausiyah agama Islam juga menyisipkan bahasan-bahasan politik di dalam ceramahnya. Tanpa disadari masyarakat yang menonton pun ikut berpikir dan berpendapat mengenai persoalan politik. Kebanyakan Emha dalam bahasan politiknya selalu menengok kembali ke belakang ke masa-masa pra kemerdekaan, terutama ke masa-masa pra Islam atau masa kerajaan.
Masyarakat umum terutama kalangan menengah ke bawah sepertinya sudah apatis dengan politik di Indonesia. Hal itu tergambar jelas ketika menjelang pemilu seperti saat ini. Mereka akan banyak yang berpendapat bahwa siapapun yang berkuasa tidak akan berpengaruh terhadap masyarakat kelas bawah atau “wong cilik”. Anggapan bahwa pemerintahan tidak berpengaruh terhadap nasib kaum kelas menengah ke bawah sebenarnya cukup beralasan. Kalau kita amati masyarakat tani di pedesaan saja, apalagi mengobrol dengan petani-petani tersebut maka mereka akan mengatakan bahwa siapapun pemimpinnya tetap tidak akan memberikan hidup yang makmur bagi petani karena harga-harga pupuk, pestisida dan bahan bakar untuk pengairan sawah tetap tinggi. Selain harga-harga yang tinggi penjualan hasil panen mereka pun tidak terlalu besar. Bayangkan, modal untuk menanam dan pembiayaan sawah tidak akan kembali ketika panen. Artinya mereka mengalami kerugian. Modal kembali pun sudah dianggap cukup bagus mengingat mengharapkan keuntungan sangatlah terlalu muluk. Perekonomian masyarakat petani ini memicu sikap pesimis dan apatis terhadap dunia politik. Ketika momen seperti ini banyak para caleg atau bahkan tim sukses capres melakukan “money politic”. Para petani dan kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah yang lain menjadi sasaran empuk para politikus yang nakal. Politikus ini menganggap bahwa masyarakat seperti ini sangat mudah didapatkan suaranya asalkan kesejahteraan mereka dapat dijamin, dalam hal ini mereka menginginkan uang atau kebutuhan pokok sehari-sehari sehingga kita akan mengenal fenomena “Serangan Fajar” yaitu pembelian suara masyarakat sebelum mereka pergi mencoblos ke TPS agar memilih calon-calon tertentu. Kita sungguh sangat menyayangkan tindakan-tindakan seperti ini. Mereka menganggap bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah dapat dikendalikan dengan mudah asalkan ada uang untuk menggaet suara mereka. Hal seperti ini sebenarnya dapat kita minimalisir jika saja semua masyarakat ikut berpartisipasi terhadap politik. Ketidakpedulian masyarakat kelas menengah ke bawah terhadap dunia politik membuat masyarakat ini berpola pikir bahwa politik tidak untuk masyarakat seperti mereka. Jika saja masyarakat kelas menengah ke bawah mau berpartisipasi di dunia politik tentu kesadaran politik mereka akan tumbuh dan politik uang pun akan sulit untuk menyerang mereka.
Lalu sebenarnya apa yang saya maksud dengan kesadaran politik di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah? Banyaknya media-media yang memuat konten politik sebenarnya merupakan dorongan positif agar masyarakat dapat semakin berpikir tentang politik. Di televisi, radio, koran dapat kita temui pembahasan mengenai politik, namun sayangnya banyak media-media tersebut tidak dapat menjaga netralitas dalam pemberitaan mengenai sosok tertentu. Apalagi akhir-akhir ini saya amati ada 2 televisi yang berperang 2 sosok capres. Masyarakat yang tidak mengerti tentu akan sah-sah saja menerima pemberitaan tersebut karena masyarakat menganggap media hanya memberitakan apa yang mereka dapat dalam pencarian berita. Hal inilah yang menodai peran media di masayarakat. Padahal media berpengaruh besar terhadap masyarakat. Di era modern saat ini yang membangun pola pikir masyarakat adalah media.
Disinilah peran masyarakat yang mengerti politik diuji. Masyarakat yang mengerti mengenai politik harus mampu memberikan gagasan-gagasannya di masyarakat kalangan menengah ke bawah. Kalau kita tadi melihat cara Emha berbicara politik seperti itu, tidak ada salahnya kita juga menerapkan hal yang dengan apa yang dilakukan oleh Emha tadi. Kalau Emha berdiskusi politik di sela-sela pengajiannya, kita yang mengerti politik dapat menambahkan obrolan politik di sela-sela obrolan keseharian kita dengan masyarakat kelas menengah ke bawah. Semakin sering masyarakat mendapatkan porsi pembahasan politik maka kesadaran terhadap politik akan besar dan itu lambat laun akan menekan cara-cara curang oknum politikus untuk memanfaatkan masyarakat kelas menengah ke bawah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar