Kalau kita mengamati masyarakat di Indonesia saat ini, sebagian besar masyarakat akan berpendapat bahwa politik hanya urusan mereka yang mempunyai pengaruh. Atau singkatnya politik hanya milik mereka yang mempunyai kedudukan kelas yang baik di masyarakat. Untuk masyarakat kelas bawah politik belum terlalu akrab di telinga mereka. Namun bukan berarti mereka anti terhadap yang namanya politik. Apalagi menjelang Pilpres 2014 ini banyak masyarakat kelas menengah ke bawah pun cukup ikut berperan di dalam politik walaupun hanya sekedar obrolan ringan di sela-sela aktivitas mereka. Kalau kita mau mengamati di sekitar kita, kita akan menemukan bahan obrolan yang identik dengan politik tersebut di kalangan pekerja yang singgah di warung. Bahkan tukang becak pun tidak mau kalah dengan obrolan-obrolan seperti itu. Hal ini maklum saja karena sebentar lagi masyarakat Indonesia akan berpesta demokrasi pada 9 Juli nanti.
Namun
hal senada tidak terjadi di kalangan generasi muda kita, terutama yang duduk di
bangku kuliah. Saya sangat menyayangkan perilaku teman-teman mahasiswa yang
cenderung menjauhi politik, walaupun tidak semuanya seperti itu. Namun sebagian
besar dari mereka ketika berkumpul untuk sekedar bersantai maka yang diobrolkan
bukanlah masalah-masalah bangsa ini. Memang mereka biasanya mengobrol masalah
perkuliahan dan hal itu adalah suatu hal yang cukup positif. Namun bukankah
bangsa ini juga harus mendapatkan perhatian terutama dari tokoh-tokoh muda kita
yang katanya duduk di perkuliahan dan siap untuk merubah negara ini? Kita tidak
dapat memungkiri bahwa ketika lengsernya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei
1998 pemeran utamanya adalah para mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa peran pemuda
dalam perubahan bangsa sangatlah besar.
Namun
tidak semua masyarakat saat ini tidak melek politik. Di beberapa acara bahkan
banyak terdapat sisipan-sisipan pesan politik. Terlepas itu kampanye atau bukan
sebenarnya hal itu cukup positif. Sebab semakin banyak acara-acara masyarakat
namun disisipi pesan politik maka masyarakatnya akan semakin sadar betapa
pentingnya politik di dalam bernegara. Kita dapat melihat hal-hal tersebut
dalam acara Pengajian yang dilakukan oleh Emha Ainun Najib. Melalui Kiai
Kanjengnya (kelompok musik), Emha sering menyisipkan atau menggubah lagu-lagu
menjadi semakin berisi politik. Tidak itu saja, beliau ketika memberikan
ceramah selain memberikan tausiyah agama Islam juga menyisipkan bahasan-bahasan
politik di dalam ceramahnya. Tanpa disadari masyarakat yang menonton pun ikut
berpikir dan berpendapat mengenai persoalan politik. Kebanyakan Emha dalam
bahasan politiknya selalu menengok kembali ke belakang ke masa-masa pra
kemerdekaan, terutama ke masa-masa pra Islam atau masa kerajaan.
Masyarakat
umum terutama kalangan menengah ke bawah sepertinya sudah apatis dengan politik
di Indonesia. Hal itu tergambar jelas ketika menjelang pemilu seperti saat ini.
Mereka akan banyak yang berpendapat bahwa siapapun yang berkuasa tidak akan
berpengaruh terhadap masyarakat kelas bawah atau “wong cilik”. Anggapan bahwa
pemerintahan tidak berpengaruh terhadap nasib kaum kelas menengah ke bawah
sebenarnya cukup beralasan. Kalau kita amati masyarakat tani di pedesaan saja,
apalagi mengobrol dengan petani-petani tersebut maka mereka akan mengatakan
bahwa siapapun pemimpinnya tetap tidak akan memberikan hidup yang makmur bagi
petani karena harga-harga pupuk, pestisida dan bahan bakar untuk pengairan
sawah tetap tinggi. Selain harga-harga yang tinggi penjualan hasil panen mereka
pun tidak terlalu besar. Bayangkan, modal untuk menanam dan pembiayaan sawah
tidak akan kembali ketika panen. Artinya mereka mengalami kerugian. Modal
kembali pun sudah dianggap cukup bagus mengingat mengharapkan keuntungan
sangatlah terlalu muluk. Perekonomian masyarakat petani ini memicu sikap
pesimis dan apatis terhadap dunia politik. Ketika momen seperti ini banyak para
caleg atau bahkan tim sukses capres melakukan “money politic”. Para petani dan
kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah yang lain menjadi sasaran empuk
para politikus yang nakal. Politikus ini menganggap bahwa masyarakat seperti
ini sangat mudah didapatkan suaranya asalkan kesejahteraan mereka dapat
dijamin, dalam hal ini mereka menginginkan uang atau kebutuhan pokok
sehari-sehari sehingga kita akan mengenal fenomena “Serangan Fajar” yaitu
pembelian suara masyarakat sebelum mereka pergi mencoblos ke TPS agar memilih calon-calon
tertentu. Kita sungguh sangat menyayangkan tindakan-tindakan seperti ini.
Mereka menganggap bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah dapat dikendalikan
dengan mudah asalkan ada uang untuk menggaet suara mereka. Hal seperti ini
sebenarnya dapat kita minimalisir jika saja semua masyarakat ikut
berpartisipasi terhadap politik. Ketidakpedulian masyarakat kelas menengah ke
bawah terhadap dunia politik membuat masyarakat ini berpola pikir bahwa politik
tidak untuk masyarakat seperti mereka. Jika saja masyarakat kelas menengah ke
bawah mau berpartisipasi di dunia politik tentu kesadaran politik mereka akan
tumbuh dan politik uang pun akan sulit untuk menyerang mereka.
Lalu
sebenarnya apa yang saya maksud dengan kesadaran politik di kalangan masyarakat
kelas menengah ke bawah? Banyaknya media-media yang memuat konten politik
sebenarnya merupakan dorongan positif agar masyarakat dapat semakin berpikir
tentang politik. Di televisi, radio, koran dapat kita temui pembahasan mengenai
politik, namun sayangnya banyak media-media tersebut tidak dapat menjaga
netralitas dalam pemberitaan mengenai sosok tertentu. Apalagi akhir-akhir ini
saya amati ada 2 televisi yang berperang 2 sosok capres. Masyarakat yang tidak
mengerti tentu akan sah-sah saja menerima pemberitaan tersebut karena
masyarakat menganggap media hanya memberitakan apa yang mereka dapat dalam
pencarian berita. Hal inilah yang menodai peran media di masayarakat. Padahal
media berpengaruh besar terhadap masyarakat. Di era modern saat ini yang
membangun pola pikir masyarakat adalah media.
Disinilah
peran masyarakat yang mengerti politik diuji. Masyarakat yang mengerti mengenai
politik harus mampu memberikan gagasan-gagasannya di masyarakat kalangan
menengah ke bawah. Kalau kita tadi melihat cara Emha berbicara politik seperti
itu, tidak ada salahnya kita juga menerapkan hal yang dengan apa yang dilakukan
oleh Emha tadi. Kalau Emha berdiskusi politik di sela-sela pengajiannya, kita
yang mengerti politik dapat menambahkan obrolan politik di sela-sela obrolan
keseharian kita dengan masyarakat kelas menengah ke bawah. Semakin sering
masyarakat mendapatkan porsi pembahasan politik maka kesadaran terhadap politik
akan besar dan itu lambat laun akan menekan cara-cara curang oknum politikus
untuk memanfaatkan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar