Biografi Abdurrahman Wahid (Gus
Dur)
Nama
lengkap : Abdurrahman Wahid
Tempat/tanggal
lahir : Jombang Jawa Timur, 4 Agustus
1940
Jenis
kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat
: Jl. Warung Silah
No. 10, Ciganjur Jakarta Selatan 12630 – Indonesia
Website : www.gusdur.net
Pendidikan :
SD Matraman Perwari, Jakarta (1949-1955)
SMP
Yogyakarta (1954-1957)
SMA
Jombang (1959-1962)
Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir (1963-1966)
Universitas
Baghdad, Irak (1966-1970)
Gusdur
adalah panggilan akrab dari Abdurrahman Wahid. Gusdur merupakan presiden ke
empat menggantikan presiden sebelumnya BJ Habibie. Nama lahir Gusdur
adalah Aburrahman Addkhil namun lebih di kenal dengan nama Abdurrahman Wahid.
Gusdur adalah anak pertama dari enam bersaudara.
Sedangkan
Addakhil sendiri memiliki arti sang penakluk. Kemudian nama panggilan akrabnya
adalah Gus Dur yang artinya Gus adalah panggilan kehormatan khusus bagi anak
kiyai, sama dengan panggilan abang atau mas. Hanya Gus jauh lebih terhormat.
Orang
tua Gusdur adalah tokoh islam yang terkenal, ayah Gusdur bernama K.H Wahid
Hasyim dan ibunya adalah Ny.Hj Solichah. Keduanya adalah tokoh islam di Jombang
Jawa Timur. Serta keluarga Gusdur merupakan keturunan orang terhormat dalam
kalangan muslim NU. Karena kakeknya yaitu K.H Hasyim Asyari adalah seorang
pendiri organisasi islam Nahdlatul Umat (NU). Sedangkan kakek dari ibunya,
yaitu K.H Bisri Syansuri adalah pengajar pesantren yang sangat di segani.
Ayah
Gusdur sendiri yaitu K.H Wahid Hasyim sendiri merupakan seorang tokoh nasional
karena tercatat sebagai salah satu yang aktif dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Pada tahun 1949 ayah Gusdur di percaya untuk mejadi menteri agama
pertama republik Indonesia. Ibunya Gusdur, Ny.Hj Sholihah adalah putri dari pendiri
pondok pesantren terkenal, Denanyar Jombang Jawa Timur.
Gusdur
pindah ke Jakarta tahun 1949 mengikuti ayahnya yang menjabat sebagai Menteri
Agama pertama. Gusdur masuk sekolah SD Matraman Perwari. Kemudian memilih tetap
terus untuk tinggal di Jakarta meskipun pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak
lagi menjabat menteri agama.
Dari
awal masuk SD, Gusdur sudah di ajarkan dan di arahkan untuk banyak membaca
buku-buku umum. Ayahnya tentu ingin supaya Gusdur memiliki pengetahuan dan
pandangn yang luas tentang hidup. Tidak sebatas hanya seputar ilmu yang
terdapat dalam kitab kuning. Sampai hari yang menyedihkan itu tiba, pada Aprip
1953 ayah Gusdur meninggal dunia karena kecelakaan mobil dalam perjalanan
antara Bandung-Cimahi Jawa Barat.
Setahun
setelah ayahnya meninggal, yaitu 1954 Gusdur meneruskan pendidikan ke jenjang
bangku SMP. Sayang ia tidak naik kelas, namun bukan karena alasan akademik.
Kemudian ibunya mengirim Gusdur untuk masuk pesantren sambil melanjutkan
sekolah SMP di Yogyakarta. Ia belajar di pondok pesantren krapyak pimpinan K.H
Ali Maksum.
Gusdur
lulus SMP tahun 1957. Seterusnya ia melanjutkan pindah ke Magelang untuk
menimba ilmu di pesantren Tegalrejo. Dua tahun kemudian Gusdur sudah mampu
menyelesaikan pendidikannya, hal yang luar biasa, Gusdur mulai menunjukan
kecerdasannya. Karena biasanya pendidikan di pesantren ini harus di tempuh
selama empat tahun.
Di
tahun 1959 Gusdur meneruskan ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Selain terus
menuntut ilmu, ia juga mulai mengabdi sebagai pengajar. Kemudian berlanjut
menjadi kepala sekolah madrasah. Di samping itu, ia juga mulai memperllihatkan
kemampuan menulisnya. Tercatat ia mulai menulis sebagai jurnalis di harian
Majalah Budaya Jaya dan Horizon.
Pada
tahun 1963 Gusdur memulai menempuh pendidikan di luar negeri. Gusdur menerima
beasiswa dari Kementerian Agama dan di kirim untuk belajar di Kairo Mesir pada
Universitas Al-Azhar. Selanjutnya ia pindah ke Irak untuk belajar di
Universitas Baghdad pada tahun 1966. Di sana ia aktif di organisasi Asosiasi Pelajar
Indonesia dan juga aktif menulis di majalah Asosiasi Pelajar tersebut.
Setelah
selesai dari Universitas Baghdad. Gusdur banyak berkeliling ke beberapa negara
di antaranya ke Belanda, Jerman dan Perancis sebelum berikutnya ia kembali ke
Indonesia di tahun 1970.
Karir
KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo
dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan
reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan
banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus
pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama
keluarganya.
Karir Organisasi NU
Pada
awal 1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga
kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil
mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU.
Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama
masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan
pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren
sehingga dapat menandingi sekolah sekular.
Selama
memimpin organisasi massa NU, Gus Dur dikenal kritis terhadap
pemerintahan Soeharto. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan
Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan
dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh
paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut,
memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka
tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah
acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak
diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.
Menjelang
Munas 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar
hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum
Munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan
terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat
pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha
menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih
sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai
aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar
dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.
Menjadi Presiden Indonesia ke-4
Pada
Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan
12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya,
Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum
MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi
dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai
Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada
pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada
19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur
dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar
dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus
Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden
baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4
dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Tidak
senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati
mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil
presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam
pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun
berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati
ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Di
kancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar-gelar akademik di bidang
humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai lembaga
pendidikan diantaranya :
·
Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru
University, India (2000)
·
Doktor Kehormatan dari Twente
University, Belanda (2000)
·
Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan
Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne
University, Paris, Perancis (2000)
·
Doktor Kehormatan bidang Filsafat
Hukumdari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
·
Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn
University, Bangkok, Thailand (2000)
·
Doktor Kehormatan dari Asian Institute
of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
·
Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai
University, Tokyo, Jepang (2002)
·
Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan
dari Netanya University, Israel (2003)
·
Doktor Kehormatan bidang Hukum dari
Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
·
Doktor Kehormatan dari Sun Moon
University, Seoul, Korea Selatan (2003)
Penghargaan-penghargaan
lain :
·
Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah
Mesir (1991)
·
Penghargaan Magsaysay dari pemerintah
Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
·
Bapak Tionghoa Indonesia (2004)
·
Pejuang Kebebasan Pers
Gus
Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, terutama
gangguan ginjal, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani
hemodialisis (cuci darah) rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat
dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di
makamkan di Jombang Jawa Timur.
Selamat
jalan Gus Dur. Terima kasih atas pengabdian dan sumbangsihnya bagi rakyat dan
bangsa ini. Jasa-jasamu dalam perjuangan Demokrasi dan Solidaritas antar umat
beragama di Indonesia tidak akan kami lupakan. Semoga amal-jasa-ibadahnya
mendapat tempat yang ‘agung’. Dan mari kita renungkan dan jalankan kata-kata
beliau ini : “Tidak penting apapun agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan
sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa
agamamu”.
Sumber :
Barton, Greg. BIOGRAFI GUS DUR, Lkis, Yogyakarta.
2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar