Review Buku “Dwi Fungsi ABRI” Karya
Bilveer Singh
Lembaga
kemiliteran merupakan simbol kemerdekaan dan kedaulatan yang paling menonjol.
Lebih dari lembaga-lembaga masyarakat lainnya, lembaga kemiliteran diliputi
oleh ide nasional. Setiap latihan militer menekankan identitas nasional dan
patriotisme. Jadi apabila mereka mengintervensi dengan alasan kepentingan
nasional, orang lebih mudah percaya.
Pada
beberapa negara berkembang yang belum stabil, memang keterlibatan militer dalam
pemerintahan dan pembangunan sulit dihindari. Terutama pada negara-negara yang
baru saja merdeka dari penjajahan atau pendudukan negara lain. Misalnya Irak.
Beberapa ilmuan memandang bahwa keadaan yang terjadi di Irak merupakan tahapan
awal untuk modernisasi dan pembangunan politik diwilayah tersebut.
Kesempatan
untuk intervensi datang apabila pemerintah sipil terlalu bergantung pada
militer, ataupun ketika negeri dilanda krisis, dan kesempatan militer untuk
intervensi dapat juga timbul karena vakumnya kekuasaan. Berkurangnya dukungan
masyarakat terhadap pemerintah, dan bertambahnya harapan pada militer,
menciptakan kesempatan bagi militer untuk konsolidasi (memperkuat) pengaruhnya
dalam kekuasaan negara.
Dalam
kultur politik rendah, Intervensi militer berlangsung secara terang-terangan.
Baik penggeseran anggota kabinet sipil maupun penggusuran seluruh kabinet
sering dilakukan. Militer secara sengaja tidak melindungi pemerintah sipil
terhadap kekerasan. Mereka mengancam tidak mau bekerjasama. Sesekali mereka
juga menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Militer
Indonesia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan
penjajahan Belanda. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan membuatnya melakukan
kegiatan keseluruhan, tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi terlibat
dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Namun setelah kondisi
kembali normal, TNI menyerahkan kembali fungsi pemerintahan sipil itu. Semenjak
tahun-tahun pertama Republik Indonesia berdiri, para perwira militer Indonesia
sebenarnya sudah mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit
revolusioner. Kecenderungan ini semakin kuat setelah pada tahun-tahun
berikutnya mereka harus mengatasi bukan hanya ancaman dari luar ( Belanda )
tetapi juga mengatasi peristiwa politik yang kritis, yaitu pemberontakan
komunis di Madiun pada tahun 1948.
Salah
satu upaya yang ditempuh untuk membangun demokrasi adalah menjauhkan kekuatan
militer dari urusan-urusan politik, mengembalikannya ke barak, dan
menjadikannya sebagai alat negara yang profesional. Tetapi, pada kenyataannya,
upaya ini bukanlah sesuatu yang mudah. Terutama di negara-negara sedang
berkembang, militer menampakkan hasrat yang sangat kuat untuk tetap melakukan
intervensi politik. Militer dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya
menjadi pelindung tunggal negara. Sebab itu, di negara-negara yang telah maju,
militer berada di bawah supremasi sipil.
Sistem
politik yang telah mapan, pendapatan per kapita yang tinggi, tingkat
industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat
yang tinggi telah mengurangi kemungkinan terjadinya intervensi militer. Hal ini
bukan berarti bahwa di negara-negara maju tidak ada keikutsertaan militer dalam
politik. Militer tetap ikut berpolitik dalam proses pembuatan kebijakan
politik, seperti pembuatan kebijakan politik luar negeri dan pertahanan.
Militer
juga ikut dalam mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh
negara-negara maju, seperti aktivitas sosial untuk menanggulangi bencana alam
atau bencana lainnya. Namun demikian, kadar keikutsertaan militer dalam politik
itu amatlah rendah. Keikutsertaannya dalam bidang-bidang nonmiliter hanyalah
menjalankan fungsi bantuan yang bersifat sementara dan dalam kondisi darurat.
Jadi, militer sangat diperlukan dalam sebuah negara. Negara kuat jika mempunyai
kekuatan militer yang hebat dan bisa diandalkan. Tetapi kekuatan militer ini
berada dalam frame work sebagai alat negara yang profesional yang tidak turut
campur dalam masalah-masalah politik dan menyerahkan sepenuhnya menjadi
otoritas sipil.
Datangnya
era reformasi (1998) merupakan peluang untuk membenahi TNI secara lebih tepat
dalam tatanan kehidupan nasional bangsa Indonesia. Untuk itu TNI melakukan
reformasi internal sebagai bagian dari reformasi nasional, yaitu dengan
melaksanakan tiga komitmen TNI. Pertama prinsip supremasi sipil yaitu TNI hanya
bagian sistem demokrasi yang harus dibangun. Kedua prinsip pemberdayaan
fungsi-fungsi yang ada yaitu TNI melepas dominasinya dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa, dan terakhir prinsip supremasi hukum.
Sekarang
format hubungan sipil-militer berangkat dan dilandasi nilai moral dan sikap
mental yang mencerminkan saling menghargai, saling mempercayai dan kehendak
yang kuat untuk bekerja sama. Militer menghargai kewenangan sipil, tunduk
kepada hukum dan sistem nasional, serta bersikap non partisipan dalam arti
tidak memihak salah satu parpol dan tidak melibatkan diri dalam politik
praktis. Sebaliknya sipil menghargai tentara nasional sebagai komponen yang sah
dalam negara demokrasi; menghargai dan mendukung peran dan misi TNI; memahami
masalah pertahanan dan budaya militer; tidak mencampuri operasional dan
manajemen internal ketentaraan; dan merasa memiliki tentara nasional.
Walaupun
presiden Indonesia saat ini (Susilo Bambang Yudhoyono) seorang mantan militer.
Namun beliau tidak menerapkan militerisasi dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Hal itu disebabkan karena katika ia berada dalam militer, ia menerapkan
militerisme akan tetapi ketika ia menjabat sebagai kepala negara, ia dapat
bersifat netral (bersikap profesional).
Jika
reformasi nasional telah menjadikan tiga komitmen TNI tersebut berfungsi dengan
baik, tentu tidak perlu muncul kekhawatiran adanya intervensi, apalagi kudeta
militer di negeri ini. Hal itu karena komitmen reformasi internal dan
netralitas TNI cukup jelas. Sementara, produk perundang-undangan yang ada juga
menutup peluang kembalinya TNI dalam politik praktis. Jadi dapat dikatakan
bahwa progres reformasi nasional dalam membangun sistem politik, hukum dan
demokrasi yang kokoh merupakan benteng utama untuk menepis kekhawatiran dan
keraguan bangsa ini.
Masalah
Dwifungsi ABRI agaknya termasuk tema yang tak habis-habisnya dipersoalkan.
Bagi kebanyakan masyarakat, terutama yang mengikuti persepsi kalangan Barat,
peran militer hanya sekadar mendukung aspirasi kepemimpinan sipil. Dan, apabila
garis politik seperti itu dilanggar atau menyimpang selaku pendukung
kepemimpinan sipil, maka peran militer dianggap telah melakukan intervensi.
Akibatnya, seperti yang banyak ditemukan dalam tulisan-tulisan dari kaum
praktisi barat, konsepsi hubungan sipil-militer sering dipandang secara
negatif.
Sebagaimana
halnya Pye, Bilveer Singh dalam buku ini menilai pandangan barat yang sering mendiskreditkan
pihak Indonesia atas peran ABRI dalam kekuatan sosial politik tidaklah benar.
Sejarah telah membuktikan bagaimana kehadiran dan peran serta TNI era Revolusi
Fisik berlangsung secara efektif. Terutama dalam mengatasi suasana krisis yang
mengancam negeri ini.
Dwifungsi
ABRI adalah suatu dokrin di lingkungan Militer Indonesia yang menyebutkan bahwa
TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara
dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini,
militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. Pernyataan di
atas berdasarkan beberapa pidato Soeharto. Soeharto mengatakan bahwa
sejalan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai alat pertahanan dan keamanan,
maka ABRI harus dapat dengan tepat melaksanakan peranannya sebagai kekuatan
sosial, politik.
Secara
umum dapat kita jelaskan bahwa kedudukan militer pada masa orde baru ini
sangatlah banyak dalam bidang pemerintahan, tidak hanya dari tingkat tertinggi
namun juga sampai ke tingkat yang paling rendah pun masih dipimpin oleh
orang-orang yang berasaldari ABRI. Hal ini terjadi karena adanya
kepercayaan dari setiap kalangan bahwa ABRI mampu melaksanakan tugas
kenegaraan dan juga sudah pasti mampu melaksanakan tugas mengabdi kepada
masyarakat.
Keikutsertaan
militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya
bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan.
Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan
tersendiri.
Dengan
meletusnya kudeta Gerakan 30 September PKI, peran serta militer dalam dunia
politik semakin mantap. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa ABRI sendiri
sebenarnya sejak awal sangat menentang kehadiran PKI yang mereka nilai sebagai
ancaman yang sangat potensial terhadap kelangsungan bangsa terkait dengan
sifatnya yang Atheis, Non-Nasionalis, Komintern, dan menganut doktrin
perjuangan kelas yang saelalu mengadu domba/memecah belah, hal ini tentunya
melanggar prinsip persatuan yang diusung oleh Pancasila . Kudeta tersebut
merupakan pukulan keras bagi Presiden Soekarno yang mana pada masa sebelumnya
telah menunjukkan sikap dukungan dan terkesan melindungi eksistensi PKI
sendiri. Kemudian, hal tersebut berlanjut dengan dikeluarkannya “Supersemar”
yang menandakan turunnya Soekarno dari jabatan kepresidenan dan digantikan oleh
Menteri Panglima Angkatan Darat Soeharto yang notabene memiliki latar belakang
militer yang kental, maka tidak heran apabila sepak terjang ABRI dalam sektor
politik semakin pesat di era-era berikutnya.
Permasalahan
stabilitas merupakan karakteristik mendasar negara-negara dunia ketiga.
Berbagai macam kegaduhan dalam system politik seperti demonstrasi hingga kudeta
tak henti-hentinya membayangi negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan oleh
perubahan yang cukup drastis dalam waktu yang relative singkat di pemerintahan
negara-negara itu.Namun demikian, hal ini tidak berlaku bagi negara yang mampu
menyelaraskan modernisasi dengan tradisi yang telah terbina di suatu negara.
Di
Indonesia sendiri, kita bisa melihat fenomena penyelarasan modernisasi dengan
tradisi yang dilakukan oleh penguasa. Presiden Soeharto sebagai pemimpin orde
baru menerapkan patrimonialisme yang telah mengakar dalam budaya Jawa untuk
menjalankan pemerintahannya. Di negara patrimonial, kekuasaan penguasa
tergantung pada kapasitas penguasa untuk memenangkan dan mempertahankan
kesetiaan elit politik kunci. Di samping itu, patrimonialisme juga dapat
dimaknai sebagai suatu pendekatan yang dilakukan untuk menciptakan sebuah
situasi dimana sang pemimpin dapat mengendalikan orang lain dengan menggunakan
cara-cara seperti adu domba guna menjunjung tinggi sang penguasa.
Di
samping itu, Soeharto ingin memberikan imbal balik bagi kaum militer yang telah
berhasil untuk menumpas PKI, nasionalis sayap kiri, dan Soekarnois dengan
member mereka posisi yang strategis dalam kalangan elit. Oleh karena itu,
Soeharto lebih dipandang sebagai pemimpin yang legal dan rasional yang mengarah
kepada neopatrimonialisme, karena caranya untuk melakukan pendekatan ini adalah
membangun sistem pemerintahan yang paNepotisme merupakan salah satu istilah
yang sering berada diantara dua kata lainnya yaitu korupsi dan kolusi sehingga
kerap disebut KKN. Istilah ini lebih banyak muncul setelah reformasi terjadi di
Indonesia mengingat saat itulah hak kebebasan berpendapat bisa diperoleh
masyarakat Indonesia, terutama pers yang kritis. Sejak itu, pemerintah banyak
dituding melakukan tindak KKN yang tentunya merugikan rakyat Indonesia.
Nepotisme
sendiri dapat dimaknai sebagi suatu tindakan pelanggaran hukum karena telah
memanfaatkan kedudukan yang dimiliki untuk menarik masuk pihak lain yang
memiliki hubungan darah atau ikatan kekerabatan lainnya ke sebuah jabatan. Di
masa Orde Baru, Soeharto dituding melakukan tindakan KKN, terutama nepotisme
karena kabinet maupun pemerintahannya kebanyakan berasal dari keluarga besarnya
maupun orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengannya.
ABRI
(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang terdiri dari TNI (Tentara
Nasional Indonesia) dan POLRI (Polisi Republik Indonesia) memang dikenal dengan
kemampuan manajemen yang sangat baik dan diakui masyarakat Indonesia karena
sistem hierarkinya yang sangat kental. Sapta Marga yang merupakan pedoman
tatanan hidup yang dipegang oleh TNI pun dengan jelas menyatakan pada pasal
kelima bahwa mereka memegang teguh kepatuhan dan ketaatan kepada pimpinan
mereka.
Bahkan ABRI yang muncul sejak masa revolusi, sejak awal memang sudah menjalankan fungsi sosial maupun politiknya, disini fungsi yang dijalankan dapat diterima masyarakat. Dwifungsi ABRI dapat diartikan sebagai pengesahan pelaksanaan fungsi sosial politik oleh anggota ABRI. Namun untuk mewujudkan landasan hukum yang tepat dan mantap harus melalui tahapan yang tidak sebentar.
Bahkan ABRI yang muncul sejak masa revolusi, sejak awal memang sudah menjalankan fungsi sosial maupun politiknya, disini fungsi yang dijalankan dapat diterima masyarakat. Dwifungsi ABRI dapat diartikan sebagai pengesahan pelaksanaan fungsi sosial politik oleh anggota ABRI. Namun untuk mewujudkan landasan hukum yang tepat dan mantap harus melalui tahapan yang tidak sebentar.
Pada
dasarnya, konsep dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem
ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia. Keberadaan ABRI sebagai
kekuatan social dan politik yang telah melekat sejak kelahirannya, secara nyata
memang telah diterima oleh rakyat, karena peranannya memang secara nyata
diperlukan bagi kelangsungan sistem kenegaraan dan sistem politik Indonesia
yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut ditunjukkan oleh
pelbagai peranan ABRI dalam menghadapi situasi-situasi genting, Mulai dari
perang mempertahankan kemerdekaan hingga penumpasan G30S/PKI. Dalam menghadapi
situasi-situasi genting itu, ABRI telah memainkan peranannya dalam bidang
politik.
Konsep
Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian
ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan
tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara mapun
di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional,
berdasarkan pancasila dan UUD 1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI
memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun
juga non-hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan
aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Sebagai kekuatan social, ABRI
adalah suatu unsure dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang
bersama-sama dengan kekuatan social lainnya secara aktif melaksanakan
kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.
Satu
aspek yang sangat esensial dalam memahami dwifungsi ABRI adalah pemahaman kita
mengenai profesionalisme militer (ABRI). Dalam hal ini, terdapat dua aliran profesionalisme
militer, yaitu profesionalisme lama dan profesionalisme baru. Profesionalisme
lama sendiri berpijak pada keyakinan bahwa militer hanyalah berperan dalam
urusan hankam. Di sisi lain, profesionalisme baru menawarkan sebuah pemahaman
baru dimana militer tidak hanya berperan dalam bidang hankam, namun juga
non-hankam.
Dwifungsi
ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki
dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga
fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi
utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat
dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat
lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada
tahun 1968. Hal ini dipandang wajar karena pada saat itu sektor militer
memiliki kekuatan yang paling besar. Sebenarnya, sejak awal milliter ikut ambil
peran dalam mengurusi urusan sipil telah muncul suatu indikasi dimana kekuatan
militer Indonesia dianggap akan memgang peran penting dalam sejarah
perpolitikan Indonesia. Indikasi ini muncul sesuai dengan teori Hunnington dan
Finner yang mengatakan bahwa penyebab paling penting dari intervensi militer
dalam bidang politik adalah sistem kebudayaan politiknya, struktur politik,
serta institusinya. Oleh karena itulah, tidak heran jika partisipasi politik
dari kekuatan militer Indonesia sangat kental pada masa itu mengingat masih
rendahnya level sistem budaya politik pada masa itu serta tidak mampunya
membatasi kegiatan militer pada bidang non-politis saja.
Secara
umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang
mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya
militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang
aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat,
sedangkan yang d di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung
kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan
informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan
teritorial diseluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke dareah-daerah
terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa).
Keikutsertaan
militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya
bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan.
Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan
tersendiri. Lebih jauh, Harold Crouch dalam bukunya “Militer dan Politik di
Indonesia” menerangkan bahwa pandangan pihak militer terpecah menjadi dua
kelompok, namun keduanya tetap menganut sifat antipartai. Hal ini juga disampaikan
oleh A.H. Nasution. Kelompok pertama adalah kelompok berhalauan keras yang
ingin mengubah struktur politik dengan sistem dwipartai. Berbeda dengan
kelompok tersebut, kelompok kedua adalah kelompok moderat yang cenderung tetap
ingin mempertahankan sistem politik saat itu, dan menginginkan perubahan
dilaksanakan secara bertahap dan alami.
Perbedaan
pandangan ini kemudian dimenangkan oleh kelompok moderat. Alasannya adalah
bahwa pembubaran partai dapat menciptakan pandangan bahwa Orda Baru bersifat
diktatorisme. Soeharto lebih percaya bahwa perubahan harus dilakukan melalui
jalan demokrasi, yaitu melalui pemilu. Pandangan demikian kemudian menimbulkan
korelasi antara ABRI dan kemunculan beberapa partai politik sepanjang era Orde
Baru.
Pertama
yaitu Golkar. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kelahiran Golkar tidak
lepas dari peran dan dukungan militer, yang pada saat itu merupakan bentuk
reaksi terhadap meningkatnya kampanye PKI. Embrio Golkar awalnya muncul dengan
pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Namun setelah
kudeta PKI tahun 1965, Sekber Golkar perlahan-lahan berubah menjadi partai
politik. Selain itu, seperti kita tahu bersama juga, Presiden Soeharto kemudian
menjatuhkan pilihannya pada Golkar. Jadi, peran ABRI bagi Golkar cukup
prominen.
Kedua
yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Sejalan dengan maksud pemerintahan untuk
melakukan penyederhanaan partai-partai politik, maka dilaksanakan fusi-fusi
partai politik. Hal ini juga dipicu oleh pendapat Letjen Ali Moertopo pada bulan
Mei 1971. Beliau berpendapat bahwa strukturisasi tidak harus dilakukan melalui
pembubaran partai politik. Ternyata dorongan fusi ini justru disambut baik oleh
golongan Islam. Oleh karena itu, lahirlah PPP pada tanggal 5 Januari 1973 yang
ditandatangani oleh NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Ketersediaan partai-partai
tersebut tidak lepas dari tekanan pemerintah dan militer.
Ketiga
yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PDI juga merupakan partai yang
terbentuk pada praktik fusi oleh pemerintah. PDI terfusi atas partai-partai
yang cenderung bersifat nasionalis seperti PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan
Partai Katolik (yang menolak dikategorikan dalam kategori material-spiritual).
Ketiga partai yang terbentuk ini kemudian mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan
partai pada Orde Baru (dengan bantuan ABRI atau militer), karena sejak saat itu
hingga tahun 1998/1999 hanya PPP, PDI dan Golkar yang mengikuti pemilihan umum.
Keterlibatan
ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI
dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersift simbiosis mutualisme.
Contohnya pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu
menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di
seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang
oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada
pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di
bawah kendali militer.
Selain
dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor
Legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam
pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan
MPR) melalui Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang
efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif
dan meminimalisir kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini
diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan
dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam
batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri,
ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam
formulasi kebijakan oleh MPR.
Setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu memiliki dampak yang akan
dirasakan secara luas, tidak terkecuali Dwifungsi ABRI. Dalam hal ini, kita
akan mengetahui bahwa Dwifungsi ABRI tidak hanya menimbulkan dampak negatif
sebagaimana yang berkembang di masyarakat selama ini, namun juga dampak positif
bagi system politik di Indonesia yang seringkali tidak diekspos pada
masyarakat.
Diantara
berbagai dampak negatif yang muncul sebagai konsekuensi pelaksanaan Dwifungsi
ABRI, berkurangnya jatah kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang
paling terlihat. Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh
ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: (a). Banyaknya
jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon,
Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, (b).
Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama
Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang
menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu
itu, (c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai
dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.
Hal
ini pada dasarnya bisa kita pahami sebagai sebuah pelaksanaan pendekatan
patrimonialisme yang dilakukan oleh Soeharto dalam menjalankan pemerintahannya.
Sebagaimana kita ketahui, pada awal pemerintahannya Soeharto mengalami masa
yang cukup sulit. Pemberontakan PKI yang terjadi pada tahun 1965 waktu itu
menimbulkan goncangan yang cukup hebat bagi seluruh sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Kehidupan politik di Indonesia mengalami instabilitas yang
sangat hebat. Belum lagi inflasi yang cukup tinggi hingga ratusan persen
membuat perekonomian Indonesia terpuruk sangat dalam. Dalam kaitannya dengan
pemberontakan PKI, ABRI yang dipimpin oleh Soeharto waktu itu tampil sebagai
pihak yang mampu menumpas kebiadaban PKI. Tentu saja ini adalah sebuah prestasi
yang layak untuk diganjar dengan penghargaan di mana Soeharto menempatkan
banyak Jendral dalam berbagai posisi pemerintahan. Lebih dari itu, dengan
menempatkan jendral-jendral dalam posisi strategis di pemerintahan, Soeharto
sedang berupaya untuk membentuk pola hubungan yang saling menguntungkan di mana
dia ingin menciptakan loyalitas di kalangan elit dalam hal ini ABRI pada
dirinya karena dengan posisi strategis tersebut, aspirasi para jendral
khususnya di bidang materi bisa tercukupi dengan lebih mudah. Dengan demikian,
pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto menjadi lebih stabil. Program-program
yang diciptakan untuk memulihkan keadaan negara juga berhasil dilakukan dengan
efektif.
Dominasi
dwifungsi ABRI dalam hal tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak yang lebih
buruk. Dampak tersebut antara lain adalah: (a). Kecenderungan ABRI untuk
bertidak represif dan tidak demokratis/otoriter. Hal ini dapat terjadi karena
kebiasaan masyarakat yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga
masyarakat enggan untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif
dan alternatif harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun masyarakat telah
mengungkapkan inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI
yang menjabat sebagai petinggi di wilayahnya tersebut, (b). Menjadi alat
penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas
bergerak untuk menjabat di pemerintahan. Sehingga untuk mencapai tingkat
penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI, sehingga dengan
mudah ABRI mengatur masyarakat, dan (c). Tidak berjalannya fungsi kontrol oleh
parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan,
misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena ABRI juga yang
bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak ingin repot-repot melakukan kontrol
terhadap bawahannya.
Lebih
dari itu, dengan adanya Dwifungsi ABRI, prakter-praktek nepotisme makin tumbuh
subur di Indonesia. Tidak jarang keluarga atau rekan terdekat dari anggota ABRI
memanfaatkan posisi yang dimiliki untuk kepentingannya masing-masing. Dengan
pengaruh yang dimilikinya mengingat jabatannya baik di bidang militer maupun
politik, anggota ABRI ini berusaha untuk meperluas usaha istrinya, saudaranya,
bahkan sepupunya.
Namun demikian, Dwifungsi ABRI juga menunjukkan dampak positif sebagai mana ditunjukkan oleh berkecimpungnya ABRI dalam bidang ekonomi. Keikutsertaan militer dalam ekonomi telah menjadi usaha yang mapan dari pimpinan tentara untuk mencari tambahan bagi alokasi anggaran dan menguatkan kebebasan mereka dari pemerintah melalui pembiayaan yang mereka dapatkan dari usaha yang disponsori militer dan menyedot dana dari BUMN yang dipimpin oleh kaum militer. Otomatis kegiatan-kegiatan yang ABRI pada waktu itu memiliki sumber dana yang tidak terbatas dari anggaran pemerintah.
Namun demikian, Dwifungsi ABRI juga menunjukkan dampak positif sebagai mana ditunjukkan oleh berkecimpungnya ABRI dalam bidang ekonomi. Keikutsertaan militer dalam ekonomi telah menjadi usaha yang mapan dari pimpinan tentara untuk mencari tambahan bagi alokasi anggaran dan menguatkan kebebasan mereka dari pemerintah melalui pembiayaan yang mereka dapatkan dari usaha yang disponsori militer dan menyedot dana dari BUMN yang dipimpin oleh kaum militer. Otomatis kegiatan-kegiatan yang ABRI pada waktu itu memiliki sumber dana yang tidak terbatas dari anggaran pemerintah.
Lebih
dari itu, dampak positif dari adanya dwifungsi ABRI itu sendiri lebih banyak
dirasakan oleh kalangan internal ABRI khususnya dalam bidang materi. Dengan
adanya dwifungsi ABRI, banyak dari anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting
dalam pemerintahan, bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah
fokus mengenyam pendidikan di bidang pemerintahan. Hal ini mengakibatkan para
Jendral ABRI memiliki kesejahteraan yang terhitung tinggi karena kiprahnya
dalam posis-posisi strategis itu.
Di
sisi lain, banyaknya anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam
pemerintahan, bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus
mengenyam pendidikan di bidang pemerintahan berimplikasi pada banyaknya dari
masyarakat yang ingin menjadi anggota ABRI. Hal ini merupakan sesuatu yang
positif karena dengan banyaknya orang yang ingin menjadi anggota ABRI maka
seleksi bagi orang-orang yang ingin tergabung dalam militer Indonesia lebih
kompetitif.
Pada
akhirnya, keberhasilan Presiden Soeharto untuk menjalankan berbagai macam
program pembangunannya menjadi dampak positif diberlakukannya konsep Dwifungsi
ABRI di era orde baru. Dengan adanya Dwifungsi ABRI tidak bisa kita pungkiri
kegiatan politik masyarakat khususnya yang tidak sejalan dengan apa yang
digariskan oleh pemerintah berada di bawah kekangan. Namun demikian, terjadi
sebuah stabilitas politik yang mampu menjadi pendorong bagi keberhasilan
program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal ini bisa kita lihat
dengan kiprah Fraksi ABRI di DPR-RI yang dengan tegas memposisikan dirinya
sebagai partai pendukung pemerintah. Jika ditambah dengan suara Golkar, tentu
saja setiap kebijakan pemerintah yang dibahas di DPR-RI dapat berjalan dengan
mulus tidak seperti apa yang kita lihat pada masa pemerintahan Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono.
Kontribusi
tentara bagi bangsa dan negara Indonesia sejak zaman kemerdekaan Indonesia
tidak dapat terhitung besarnya, mengingat tentara ini merupakan salah satu
ujung tombak dari kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pada masa penjajahan
dahulu. Seiring berjalannya waktu, didukung oleh pergantian pemerintahan
Soekarno menjadi Soeharto dengan ditandai oleh sistem pemerintahan Orde Baru di
Indonesia, peran tentara Indonesia yang kemudian disebut dengan ABRI semakin
besar. Dahulu, ABRI yang hanya bergerak dibidang keamanan dan pertahanan di
Indonesia, namun pada era pemerintahan Soeharto, peranan ABRI merangkap kearah
bidang sosial dan politik. Fungsi ganda ABRI ini kerap dikenal dengan konsep
Dwifungsi ABRI.
Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan status Soeharto sebagai seorang
pemimpin yang berasal dari golongan tentara memicu banyaknya ABRI yang mulai
terjun dalam bidang politik pemerintahan Indonesia. Hal ini juga didukung oleh
beberapa statement bahwa element yang dapat mengatasi ancaman pertahanan dan
pembangunan nasional adalah dengan menyelaraskan peranan ABRI yang tidak lagi
hanya bergerak dibidang hankam tetapi bidang non-hankam. Akibatnya, tak
terhitung banyaknya anggota ABRI yang menjadi anggota DPR, DPRD, atau posisi
lainnya dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Banyaknya
anggota ABRI yang duduk di kursi pemerintahan menuai banyak implikasi positif
maupun negatif. Implikasi positif ini cenderung banyak dirasakan oleh para
anggota ABRI yang mendominasi kursi pemerintahan di Indonesia pada era
Soeharto. Disisi lain, dampak negatif cenderung banyak dirasakan oleh
masyarakat Indonesia dimana mereka merasakan sistem pemerintahan Indonesia saat
itu berada dalam dominasi ABRI yang memicu banyaknya praktek kolusi, korupsi,
dan nepotisme. Hal ini, jelaslah membawa dampak yang merugikan untuk bangsa
Indonesia sebagai komponen yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi
kebutuhannya.
upaya
yang dilakukan oleh pemerintah orde baru untuk mecegah persaingan antar
angkatan dilakukan dengan tiga cara yaitu pendekatan mental, pendekatan doktrin
dan pendekatan organisasi. Usaha yang dilakukan pemerintah orde baru
dalam inetgrasi ABRI selain untuk mencegah terjadinya persaingan antar angkatan
juga sebagai upaya untuk mengontrol kekuatan ABRI dan juga menjaga
kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat dari panglima-panglima yang mengontrol
komando ABRI adalah para Jenderal yang setia kepada Soeharto seperti Maraden
Pangabean. Para perwira yang tidak sejalan dengan kebijakan Soeharto akn
disingkirkan secara perlahan-lahan yaitu dengan cara memberikan jabatan-jabatan
yang kurang strategis. Para Perwira yang tidak sepaham dengan Soeharto
seperti H.R. Dharsono, Kemal Idris dan Sarwo Edhi Wibowo. Dari penjelasan yang
singkat ini kita melihat bagaimana upaya pemerintah Orde Baru untuk
mempertahankan kekuasaannya dengan cara melibatkan militer dalam politik dan
memberikan ruang yang sempit bagi golongann sipil. Pemerintah Orde Baru
menggunakan militer sebagai kekuatan politiknya juga karena militer akan lebih
mudah untuk dikontrol.
Why do the casino keep winning every time? - Dr MCD
BalasHapusIt's the casino's 부천 출장샵 life. 안양 출장마사지 They're all the excitement. And then, in my opinion, it's a good thing. We do 충청북도 출장샵 everything 고양 출장안마 in our power, 대구광역 출장마사지